Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN SEBAGAI NEGARAWAN DALAM AMANAT GALUNGGUNG



Kepemimpinan Sebagai Negarawan (Prabu ing Palanka)
          Sebuah bangsa bisa banyak melahirkan para pemimpin yang berkualitas, tetapi belum tentu mampu melahirkan sosok-sosok Negarawan yang unggul. Seorang pemimpin baru bisa dikatakan sebagai pemimpin yang hebat, mumpuni, bila ia sudah mampu bersikap sebagai seorang Negarawan dalam arti kata, seorang Negarawan pasti seorang yang pemimpin, tetapi seorang pemimpin belum tentu mampu bersikap sebagai seorang Negarawan.
Ada pun sikap-sikap yang harus dipunyai oleh seoarng Negarawan seperti yang tersurat dalam Amanat Galunggung Rekto 1:
a.     Jangan bentrok (Mulah Pabuang)
b.     Jangan berselisih paham (Mulah Pasalahan paksa)
c.      Jangan saling bersikeras (Mulah Pakeudeu-keudeu)
d.     Jangan mempertentangkan tentang kebenaran (Mungku urang mimprangkeun dibener)
e.      Jangan saling curiga (Mulah nenget sama hulun)
f.       Jangan berebut kedudukan (Haywa pa ala-ala palungguhan)
g.     Jangan berebut pekerjaan (Haywa pa ala-ala pamonang)
h.     Jangan berebut jasa (Haywa pa ala-ala demakan)
i.       Jangan merampas milik orang lain (Mulah ngarampas tnap dwasa)
j.       Jangan menyakiti orang lain (Mulah midukaan tnapa dwasa)
k.     Hendaknya hidup rukun (Masing Rampes)
l.       Jangan sampai tanah leluhur dikuasai orang lain – Cinta tanah air (Jaga dapetna pretapa, dapetna pegengeun sakti Beunangna ku asing).       

Itulah sikap-sikap khusus yang harus dimiliki oleh seoang pemimpin sebagai Negarawan, bahkan ada amanat khusus yang mentikberatkan pada arti penting cinta tanah air. Yakni, agar para ksatria, para generasi muda kader penerus bangsa mampu mempertahankan tanah leluhurnya (kabuyutan), mampu mempertahankan tanah airnya jangan sampai terkuasai oleh orang asing atau para kapitalis.
Bahkan karena dianggap sangat penting sikap untuk mempertahankan tanah air ini, sampai-sampai ada sumpah atau amanat khusus dari seorang raja Galuh Prabu Darma Siksa (abad XII) bagi para penerusnya, bila tidak mampu mempertahankannya. Maka ia dikatakan lebih hina dari sampah yang paling busuk yang ada di jarian. Yakni:
§  Jaga direbutnya / dikuasainya tanah leluhur oleh orang lain (Jaga beunangna kabuyutan ku sakalih).
§  Akan banyak para pedagang yang ingin merebut tanah leluhur  (Banyaga nu dek ngarebut kabuyutan).
§  Yakni orang-orang asing yang ingin merebut tanah leluhur (Asing iya nu meunangkeun kabuyutan).
§  Lebih berharga kulit musang ditempat sampah daripada Rajaputra tidak mampu mempertahankan tanah leluhur yang direbut orang lain (Mulyana kulit lasun di jaryan, modalna rajaputra antukna beunang ku sakalih).
Di dalam SSK-Rektor III dijelaskan, sikap pemimpin sebagai Negarawan “hendaknya berbuat kemulyaan yang menitikberatkan pada satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan” (maka pada mulya, ku ambeg, ku sabda, ku hidep) atau sikap “Bawalaksana” (komitmen, konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab) sebagaimana diungkapkan dalam buku Sabda Pandita Ratu, sebagai sikap utama yang harus dimilki oleh seorang pemimpin. Sehingga pimpinan sebagai Negarawan (Pandita Ratu). Berbuat tidak untuk mengejar kedudukan (kalungguhan), tidak mengejar jabatan/pekerjaan (pamonangan) atau mengejar jasa dan rejeki (demakan), mengejar sebuah posisi (position) atau status. Tetapi, lebih menitikbeatkan pada role (peranan) atau perbuatan (action). Yakni sebagai “Leader by action is not leader by position” atau Leadership by role but not leadership by status”.
          Untuk mengejar kamulyaan bangsa dan negara, dilaksanakan dengan “Bawalaksana” (komitmen, konsisten, konsekuen) dengan sepenuh tanggung jawab berikut segala resikonya. Hal ini sejalan dengan hadis dan Al-Qur’an bahwa “Tidak Aku jadikan engkau khalifah dimuka bumi melainkan nanti akan Aku minta pertanggungjawabannya”, sehingga sebagai seorang pemimpin harus mampu bertangung jawab baik lahir maupun batin, dunia maupun akhirat. Makanya golongan pertama manusia yang akan masuk surga adalah seorang pemimpin yang adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar