Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN MAHAPATIH GADJAH MADA



Ajaran Kepemimpinan Mahapatih Gadjah Mada

Dalam khasanah sejarah kepemimpinan di Nusantara, Maha Patih Gadjah Mada adalah sosok fenomenal dan melegenda. Namanya tercatat dalam tinta emas karena prestasi yang dilakukannya. Dengan demikian, tidak salah jika kita mengambil pelajaran berharga soal kepemimpinan dari tokoh yang satu ini. Banyak ajaran Gadjah Mada ini yang masih relefan untuk diterapkan hingga saat ini. Itulah sebabnya kepemimpinannya mampu menjadi legenda di zamannya.
Keprabuan Majapahit mengalami zaman keemasan selama pemerintahan Tribhuana Tunggadewi Jayawisnu Wardhani yang diteruskan oleh putranya Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanegara. Dalam masa itu, yaitu kurun waktu antara tahun 1328M s/d 1389M Keprabuan Majapahit mengalami zaman keemasan, menguasai seluruh Nusantara, kecuali dua kerajaan kecil di Jawa Barat, yaitu Sunda Galuh dan Sunda Pakuan.
Dengan kekuasaan yang  begitu luas cakupan pengaruhnya itu tentu bisa dibayangkan kharisma tokoh dibalik itu semua. Bahkan ada yang menyatakan bahwa daerah kekuasaannya adalah mulai dari Madagaskar sampai Papua, ke Utara sampai Filipina. Semua itu tentunya akibat dijalankannya ajaran-ajaran luhur, termasuk ajaran kepemimpinan. Hal ini tidak terlepas dari peran Mahapatih Gadjah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapanya.
Dengan tekadnya yang kukuh, Gajdah Mada memimpin bangsanya untuk menyatukan Nusantara, dengan harapan agar persatuan dan kesatuan tersebut dapat melindungi bersama dari ancaman bangsa di utara yang waktu itu dikenal dengan nama bangsa Tartar. Majapahit membangun kekuatan armada lautannya sedemikian kuat terdiri atas ratusan kapal perang dibawah pimpinan laksamana Nala, dan juga pasukan darat yang handal, dengan inti kekuatan pasukan khusus Bhayangkara.
Adalah wajar bila Gadjah Mada  memiliki ajaran-ajaran khusus kepemimpinan yang dipedomani dan  diajarkan selama masa kekuasaannya. Dan ajaran-ajaran kepemimpinan itu benar-benar dipatuhi oleh setiap pejabat dan rakyat yang berada dalam barisan birokrasi saat Gadjah Mada berkuasa.

Beberapa ajaran kepemimpinan itu  diantaranya tertuang dalam 18 tatanan, diantaranya adalah :
1)       Wijaya, pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar, bijaksana, dan tidak lekas panik dalam menghadapi persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang, setiap masalah dapat diselesaikan dengan baik. Dengan jiwa tenang memungkinkan setiap persoalan bisa diselesaikan dengan penuh perhitungan tidak dengan emosi. Bahkan dengan jiwa tenang, persoalan seberat apapun pasti akan ditemukan jalan keluar.
   Ketenangan dalam berfikir menunjukkan adanya kematangan dan kearifan. Orang macam ini tentulah memiliki pemahaman yang luas tentang masyarakatnya. Ia tidak akan mengambil keputusan secara terburu-buru. Namun ia juga tidak lambat dalam mengambil keputusan. Semua dilakukan pada saat yang tepat.
2)       Mantriwira, pemimpin harus berani membela serta menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak mana pun. Pembelaan disini tentu saja terhadap suatu kebenaran. Kebenaran disini juga terhadap rakyat yang lemah. Siapapun pemimpin yang secara nyata mampu memberikan kepedulian terhadap si lemah pastilah ia akan disenangi rakyatnya.

     Sesungguhnya yang disebut pemimpin adalah orang yang mampu memberikan pengayoman kepada si lemah. Bila penguasa hanya membela pemodal, pemilik kapital, kaum pintar, itu namanya bukan pemimpin.
3)      Natangguan, pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan. Memimpin berarti menerima amanah. Oleh karena itu amanah harus bisa dipertanggung-jawabkan kelak di kemudian hari. Memimpin jugabisa diartikan menerima mandat dari rakyat. Apabila seorang tidak mampu menjalankan mandate dengan baik, tidak mustahil mandate tersebut akan dicabut atau diambil kembali.
4)      Satya Bhakti Prabhu, pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan kepada nusa dan bangsa. Bila pengertian ini diperluas, maka menjadi seorang pemimpin itu harus memiliki nasionalisme yang tinggi. Ia harus cinta tanah air. Sejengkal  tanah air, adalah sebuah harga diri. Sehingga seorang pemimpin akan dicintai dan dihormati rakyatnya bila ia mampu menjaga tanah airnya dengan cara apapun.
    Mempertahankan tanah air adalah harga mati. Tidak ada harga diri yang lebih tinggi selain mampu menjaga tanah air dan melindungi segenap kepentingan rakyat yang dipimpinnya.
5)      Wagmiwak, pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib, sopan, santun dan mampu menggugah semangat masyarakat. Boleh dibilang bahwa pemimpin sebaiknya memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Sepintar apapun seorang pemimpin, jika  tidak pandai berkomunikasi akan menuai masalah.
    Pemimpin yang baik mampu mengkomunikasikan gagasannya sehingga dipahami dan diterima oleh masyarakatnya. Pemimpin tidak boleh diam. Sebaliknya juga tidak patut jika banyak omong. Ia berbicara pada saat yang tepat. Mengeluarkan pendapatnya juga di waktu yang tepat.
6)      Wicaksananeng Naya, pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat. Disini seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan negoisasi. Apalagi di era global seperti sekarang ini. Kemampuan pemimpin untuk berdiplomasi menjadi sebuah keharusan.
7)      Sarjawa Upasama, pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, dan tidak sok berkuasa. Rakyat selalu menghormati dan menghargai pemimpin yang rendah hati. Bahkan mereka akan empati dan simpati kepada setiap pemimpin yang rendah hati.
8)      Dhirotsaha, pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan karsa, cipta, rasa, dan karyanya untuk mengabdi pada kepentingan umum.
9)      Tan Satrsna, pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan,tetapi harus mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakat untuk menyukseskan cita-cita bersama.
10) Masihi Samasta Bhuana, pemimpin mencintai alam semesta, dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan YME, dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.
11) Sih Samasta Bhuwana. Pemimpin dicintai segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya, pemimpin mencintai rakyatnya. Inilah sesungguhnya hakekat kepemimpinan yang sebenarnya. Bila di setiap Negara terdapat model kepemimpinan yang seperti ini dipastikan rakyat dan pemimpinnya akan bisa hidup damai sejahtera.
12) Negara Gineng Pratijna, pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan Negara dari pada kepentingan pribadi, golongan ataupun keluarga. Walaupun dalam prakteknya, kondisi seperti ini tidaklah mudah untuk dijalankan. Sebab godaan harta dan kekuasaan selalu membayangi setiap orang yang sedang duduk menjadi pemimpin.
13) Dibyacitta, pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).
14) Sumantri, pemimpin harus tegas, jujur, bersih, dan berwibawa. Menjadi pemimpin tidak boleh loyo, tidak boleh lembek, dan perilaku  sejenisnya. Perilaku demikian ini akan menjadikan pemimpin tampak kurang berwibawa.
15) Nayaken musuh, pemimpin harus dapat menguasai musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada dalam dirinya sendiri. Musuh terbesar seorang pemimpin  adalah hawa nafsunya sendiri.
16) Ambeg Parama Artha, pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum. Disini dibutuhkan kearifan, kebijakan, dan kepiawaian dalam menjalankan sebuah roda kepemimpinan.
17) Waspada Purwa Artha, pemimpin selalu waspada dan mampu melakukan mawas diri (introspeksi), untuk melakukan perbaikan.
18) Prasaja, pemimpin berpola hidup sederhana (aparigraha), tidak bersenang-senang yang berlebihan atau yang serba gemerlap. Bukan zamannya lagi seorang pemimpin  bermewah-mewah, sedangkan rakyatnya busung lapar.
Sesungguhnya ajaran kepemimpinan ala Gadjah Mada tersebut sangat cocok pada zamannya. Tentu ajaran-ajaran tersebut sebagian ada yang bisa dipraktekkan dalam situasi kekinian tergantung medan dan suasana yang dihadapi di setiap zaman.  Semua itu membuktikan, bahwa ajaran kepemimpinan berdasarkan kearifan lokal ternyata begitu kaya dan adiluhung. Tinggal bagaimana para pemimpin kedepan mampu menyerap ajaran-ajaran tersebut agar bisa dipraktekkan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar