Naskah
Sanghyang Hayu (SH)
Istilah
“Parigeuing” atau kepememimpinan a la
Sunda yang terungkap dalam naskah SSK ditulis pada abad ke-16 Masehi, merupakan
naskah kuno yang terbuat dari kulit nipah. Secara umum isinya mengisahkan
tuntunan atau tata cara dalam upaya mencapai kebaikan hidup. Konsep
kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang
Hayu pun mendasari konsep tiga rahasia atau lebih dikenal dengan konsep Tri Tangtu Dibuana dalam SSK yang
mencakup Tri Geuing: Parigeuing (memimpin), Upa Geuing (pangan), dan Geuing (sandang). Di mana dalam naskah Sanghyang Hayu konsep Tri Tangtu tersebut dibagi dalam 5
bagian sebagaimana di ulas sebelumnya.
Konsep Tri Tangtu Dibuana ini merupakan sebuah
konsep kesisteman dalam pola berperilaku suku bangsa Sunda / Nusantara pada
umumnya baik perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
mengisyaratkan tiga ketentuan sebagai satu kesatuan, berbeda-beda tetapi tetap
satu atau dikenal sebagai Bhinneka
Tunggal Ika.
Kelima
belas karakter seperti tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu harus mendarah daging dalam diri seorang pemimpin.
Dan untuk bisa menjadi figur seorang pemimpin ideal harus berpegang teguh pada
prinsip astaguna ’delapan kearifan’,
sehingga kepemimpinannnya berjalan selaras, baik, dan harmonis. Kedelapan
kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan Darsa (1998) adalah sebagai berikut.
a. Animan (lemah lembut),
seoarang pemimpin harus memiliki sifat yang lemah lembut, dalam arti tidak
berperilaku kasar, agar orang yang merasa dipimpinnya merasa diperhatikan.
b. Ahiman (tegas), seorang
pemimpin harus bersikap tegas, tidak plin plan (panceng hate).
c. Mahiman (berwawasan luas),
seorang pemimpin harus memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan
tinggi agar tidak kalah dari bawahannya.
d. Lagiman
(gesit/cekatan/terampil), seorang pemimpin dituntut agar terampil dan gesit
serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu pekerjaan.
e. Prapti (tepat sasaran),
seorang pemimpin harus memiliki ketajaman berpikir serta tapat sasaran, karena
jika keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu pekerjaan.
f. Prakamya (ulet/tekun), seorang
pemimpin juga harus memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi.
Pemimpin tidak boleh putus asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan
baik dan berhasil guna.
g. Isitwa (jujur), seorang
pemimpin dituntut memiliki kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun
perbuatan agar dipercaya oleh orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara
lain) maupun bawahannya, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis.
h. Wasitwa (terbuka untuk
dikritik), seorang pemimpin harus memiliki sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka
untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau menyimpang dari aturan yang
ditetapkan.
Kepemimpinan
Astaguna ini sejalan dengan teori
“kepemimpinan berdasarkan sifat” sebagaimana dikemukana LL Barnard (1426),
Kilbourne (1927), Page (1935) dan Locke & Patrick (1991) yang
menitikberatkan bahwa sebagai seorang pimpinan harus memiliki sifat-sifat yang
unggul sebagai sebuah ciri khas yang membedakan ia sebagai pemimpin dengan
manusai lainnya. Kepemimpinan Astaguna
juga sejalan dengan toeri “Role
Leaderhsip” dari Homas (1950), Kahn (1970), Mitzberg (1978) yang
menitikberatkan pada karakter pemimpin yang harus punya peran khusus dalam
kelompoknya yang sesuai dengan situasi dan kondisi yan diperlukan pada saat
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar