KEPEMIMPINAN NASIONAL
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
MENUJU MASYARAKAT
TATA TENTREM KERTARAHARJA
Makalah ini
disampaikan pada Orasi Ilmiah
Wisuda Sarjana
Perguruan
Tinggi Puangrimaggalatung
Wajo
Sulawesi Selatan
Oleh:
Dr. H. Anton Charliyan, Drs. MPKN.
JAKARTA
2013
KEPEMIMPINAN NASIONAL
BERBASIS KEARIFAN LOKAL MENUJU MASYARAKAT
TATA TENTREM KERTARAHARJA
ABSTRAK
Tulisan ini sekadar mengungkap sebagian kearifan lokal
kepemimpinan yang dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan/menyadarkan/eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 Masehi, yakni Naskah Sanghyang Hayu (SH), Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), dan Amanat
Galunggung(AG), kenapa disini
kami pilihkan salah satu model kepemimpinan ini berdasarkan naskah Sunda buhun
walaupun kami tahu bahwa di Indonesia itu begitu banyak kearifan lokal dari
berbagai suku yang sangat majemuk yang terdiri dari beribu-ribu suku dengan
kearifan lokalnya yang sangat hebat. Karena berdasaarkan catatan sejarah
kerajaan sunda merupkan salah satu Dinasti yang mampu memimpin kerajaan selama
kurang lebih 15 abad dengan sukses tanpa tergantikan oleh Dinasti lain yakni
mulai dari Dinasti Dewawarman sejak tahun 130 M (Kerajaan Salakanagara di
Pandeglang) sampai dengan, Jaya Singawarman (Kerajaan Taruma nagara), kemudian
Tarusbawa (Sunda), Sang Wreti Kendayun (Galuh), Sri Baduga Maharaja
(Padjajaran), Walang Sungsang dan Syarif Hidayatullah (Cirebon) dan terakhir
Prabu Geusan Ulun (Sumedang Larang) 1672. Semua pemimpin kerajaan itu murni
satu darah berawal dari keturunan Dewawarman, adakah didunia ini yang mampu
memegang tampuk kepemimpinan selama 1542 tahun secara turun-temurun tanpa
putus? Kemudian dalam makalah inipun juga disajikan kepemimpinan Ala Gadjah Mada, khususnya yang
menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi seorang pemimpin dalam
melaksanakan tugas dan kepemimpinannya, agar berhasil dan dicintai baik oleh
rakyat maupun oleh komunitasnya.
Berbicara istilah arti harafiah kepemimpinan menurut naskah Sunda sebagai parigeuing,
yang berarti mengingatkan, menyadarkan/eling, selaras dengan salah satu
filosofi masyarakat Bugis yaitu Sipaka
Inga, Sipaka Tahu, Sipaka Lebi (saling memngingatkan, saling
memberi tahu, dan saling menghargai).
Seorang pemimpin menurut
naskah SSK, adalah bahwa
seorang pemimpin harus menjiwai konsep ‘tiga rahasia’
sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau yang lebih
dikenal sebagai konsep Tri Tangtu dibuana yaitu yang dikemas dalam konsep“trigeuing”
(3 peringatan) yakni : sebagai Prabu,
Hulun, Palanka(Pemimpin, Abdi, Negara) atau yang lebih spesifik yaitu; parigeuing, geuing, upageuing (Pemimpin,
Sandang, Pangan). Adapun yang tertulis dalam naskah Sanghyang Hayu, ketiga
rahasia tadi dibagi menjadi lima bagian, sehingga
jumlahnya menjadi lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin,
yaitu
1.
Budi(bijak)-Guna (arif)-Pradana
(saleh/utama/mulya)
2.
Kaya (sehat)-Wak(bersabda)-Cita (hati)
3.
Pratiwi(membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)
4.
Mata
(penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga(pendengaran)
5. Bayu(ucapan/angin)-Sabda(itikad/perbuatan)Hedap(kalbu/pikiran).
Disamping itu seorang pemimpin dalam naskah ini harus juga berpegang teguh kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yakni: Animan (lemah
lembut, santun),Ahiman (tegas), Mahiman (cerdas, berwawasan luas), Lagiman (terampil & cekatan), Prapti (tepat sasaran), Prakamya (ulet & tekun), Isitwa (jujur,
benar), dan Wasitwa (terbuka).
Salah
satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, sebelum seseorang menjadi
pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (Satya dikahulunan)
yakni harus mempunyai sifat-sifat : tidak pernah mengeluh, tidak mudah
kecewa, tidak sulit diperintah, tidak pernah iri dengki, tidak pernah goyah
kesetiaanya, tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong
dipiwarang, Mulah nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan).
Disamping itu sebagai seorang abdi harus juga memiliki pribadi sebagai berikut
yang lebih dikenal sebagai empat larangan (opat larangan) yakni : Tidak mudah tersinggung, tidak mudah
merajuk, tidak mudah menggerutu, dan tidak mudah menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, nulah
kukulutus, mulah humandeur
Pemimpin yang
legendaris atau yang namanya harum mewangi menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki
sifat Dasa prasanta, yaitu
sepuluh cara memberi perintah yang baik yang
mampu menenangkan hati, yakni: Guna (bermanfaat),
Ramah (santun), Hook (kharismatik), Pésok (panutan
& dapat dipercaya), Asih (berjiwa
sosial), Karunya (berhati
nurani), Mupreruk (melindungi), Ngulas (teliti
& menerangkan dengan jelas), Nyecep
(menyejukkan), Ngala angen (mengambil
hati). Berdasar SSK, seorang pemimpin digelari sebagai
tokoh, jika dalam pribadinya sudah melekat
karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning
twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor, yakni Emét (Tidak serakah), Imeut (teliti), Rajeun
(rajin), Leukeun (tekun), Paka Pradana (tulus jiwa sosial), Morogol-rogol (semangat), Purusa ning Sa (berani,
jujur, tanggung jawab),Widagda
(adil,bijak), Gapitan
(yakin & rela berkorban), Karawaléya (berjiwa sosial),Cangcingan (cekatan),dan Langsitan(cerdas).
Seorang pemimpin yang baik disamping harus
memiliki sikap positif, harus mampu pula berpantang/menjauhi kesalahan–kesalahan
yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga pada akhirnya akan
mampu mewujudkan pemimpin sebagai “Master” yang melegenda maka dari itu harus
menjauhi .Kemudian
agara pemimpin sebagai ‘master’, harus menjauhi watak
manusia yang membuat kerusakan di dunia,yang disebut Catur Buta, yaitu
Burangkak, Mariris, Maréndé, Wirang (kasar, menjijikan, sadis, dan licik
Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH,
dan AG, setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer,
father, servicer, dan teacher. Kesembilan kriteria tersebut selayaknya harus mampu
diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan
kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal, sehingga apabila seseorang sudah mampu memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan
menjelma sebagai Master Leadership atau sebagai “tokoh” yang legendaris, yang harum mewangi namanya, sebagaimana gelar raja-raja di Sunda-Galuh dan
Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi” yaitu seorang
raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya karena mengedepankan prinsip pakeun hebeul jaya
dibuana pake gawe kreta bener, pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro, sebagaimana yang tertuang
dalam prasasti kawali Astana gede Ciamis yang artinya kalau kita ingin jaya
didunia pegang teguh kebenaran karena itulah yang akan membawa kepada
kesejahteraan dan keadilan, bangun kekuatan dengan kedamaian, bangun kekuatan
dengan kerendahan hati, saling mengasihi antar sesama, dan jangan serakah
karena akan membuat diri jadi sengsara serta yang paling utama adalah mampu memberdayakan dan mensejahterakan orang banyak (Ngertakeun Jalma rea) dengan konsep Tata Tentrem Kerta Raharja.
I. Pendahuluan
Seandainya di era globalisasi dan canggih saat ini masih terbersit hasrat untuk melirik
sejarah dan kearifan lokal budaya masa lampau, hal itu merupakan sikap yang
cukup bijaksana, karena jika kita cermati secara seksama, tanpa kita sadari
banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan
karuhun (warisan leluhur) terdahulu yang bisa kita gali dan kita ungkapkan dimasa kini. Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat
dipandang sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi
ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah, serta budaya dari sebuah
bangsa atau kelompok-kelompok sosial budaya masyarakat tertentu.Sebagai sumber
informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah buhun(kuno) termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan
kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, yang
ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan, dan lain-lain.
Naskah-naskah
tersebut secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau yang
menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama tentang keadaan sosial dan
budaya, yang meliputi: sistem religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata pencaharian hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan, bahasa, dan seni (Koentjaraningrat, 1987;
Suryani NS., 2010: 48)..
Memang benar pengaruh globalisasi
tidak bisa kita hindari, namun sebagai generasi muda kita dituntut agar pandai
memilih dan memilah serta mencerna budaya asing yang masuk, mana yang baik dan
mana yang tidak baik untuk diterima. Di era globalisasi saat ini ada
kecenderungan bahwa masyarakat lebih
menghargai budaya asing dibandingkan budaya “pituin”(asli) kita
sendiri, meskipun ‘unsur luar’ itu berasal dari peninggalan “karuhun” (leluhur) kita. Selayaknya kita mau bercermin
terhadap kebudayaan
bangsa kita sendiri. Untuk itu, sungguh
arif andaikan kita mau mencerna kearifan
lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang, khususnya
yang tercermin dalam naskah, yangberhubungan dengan masalah kepemimpinan.
Adapun salah satu naskah yang akan banyak kami kupas disamping kearifan
lokal dari Jawa (Gajah Mada), dari Bugis, kami akan lebih memfokuskan kepada
kajian-kajian kepemimpinan berdasarkan naskah Sunda buhun (Sang Hyang
Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung, Sang Hyang Hayu, Carita Parahiangan,
dan lain-lain). kenapa disini kami pilihkan salah
satu model kepemimpinan ini berdasarkan naskah Sunda buhun walaupun kami tahu
bahwa di Indonesia itu begitu banyak kearifan lokal dari berbagai suku yang
sangat majemuk yang terdiri dari beribu-ribu suku dengan kearifan lokalnya yang
sangat hebat. Karena berdasaarkan catatan sejarah kerajaan sunda merupkan salah
satu Dinasti yang mampu memimpin kerajaan selama kurang lebih 15 abad dengan
sukses tanpa tergantikan oleh Dinasti lain yakni mulai dari Dinasti Dewawarman
sejak tahun 130 M (Kerajaan Salakanagara di Pandeglang) sampai dengan, Jaya
Singawarman (Kerajaan Taruma nagara), kemudian Tarusbawa (Sunda), Sang Wreti
Kendayun (Galuh), Sri Baduga Maharaja (Padjajaran), Walang Sungsang dan Syarif
Hidayatullah (Cirebon) dan terakhir Prabu Geusan Ulun (Sumedang Larang) 1672.
Semua pemimpin kerajaan itu murni satu darah berawal dari keturunan Dewawarman,
adakah didunia ini yang mampu memegang tampuk kepemimpinan selama 1542 tahun
secara turun-temurun tanpa putus?
Karya
tulis ini mengacu kepada beberapa teori yang berkaitan dengan masalah
kepemimpinan, sebagaimana dikemukakan Glenn
(1992) Stogdill (1974) Locke (1997), Gardner (1986 & 1988), Ekadjati
(2006), Charliyan (2009 & 2012), (Suryalaga, 2009), Thoha (2009), dan Suryani NS (2009 & 2012).
Tulisan ini sekadar mengungkap konsep kepemimpinan global berbasis kearifan lokal, yang dikenal
dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun
(kuno) abad 16 Masehi (1518 M), khususnya yang menyangkut masalah tuntunan moral atau pedoman bagi
seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan
dicintai, baik oleh rakyat maupun oleh bawahannya, yang di dalamnya tentu saja
berkaitan dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya
serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat masa kini.
Masalah kepemimpinan terungkap
dalam naskah Sunda abad ke-16 Masehi ini sebagaimana terungkap dalam naskah
Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat
Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (AG).
Naskah-naskah tersebut berupa daun lontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno), yang
mungkin saja sudah tidak dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian masyarakat dimasa kini.
2. Kepemimpinan
2.1 Definisi
Definisi kepemimpinan sangatlah
beragam. Glenn (1992) menyebutkan bahwa sedikitnya ada kurang lebih 350
definisi mengenai kepemimpinan. Dari
sekian banyak definisi dimaksud, Stogdill (dalam Handbook of Leadership, 1974) menegaskan, bahwa hanya ada tiga
golongan kepemimpinan, yakni :
a. golongan pertama adalah kepemimpinan sebagai pusat
proses gerakan kelompok;
b. kedua kepemimpinan sebagai seni memengaruhi; dan
c.
ketiga
kepemimpinan sebagai pembedaan kekuasaan, deferensiasi peranan, dan inisiasi
struktur.
Tidak ada sebuah definisi
kepemimpinan yang dapat dirumuskan secara lengkap untuk mengabstraksikan
perilaku sosial atau perilaku interaktif manusia di dalam organisasi yang
memiliki regulasi dan struktur tertentu, serta misi yang menyeluruh.
Meskipun demikian, ada satu definisi
yang mampu mewakili dan dapat dijadikan rujukan berkenaan dengan kepemimpinan.
Locke (1997) menjelaskan bahwa:“kepemimpinanadalah merupakan suatu
proses menggerakkan (inducing) orang lain menuju sasaran bersama”.
Definisi
sebagaimana dikemukan Locke dimaksud merupakan suatu Relational
concept yakni: “Kepemimpinan itu hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut).
Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada yang disebut pemimpin.
Tersirat dalam definisi ini sebuah
premis, bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
Kepemimpinan
merupakan suatu proses. Agar mampu memimpin, seorang pemimpin harus melakukan
sesuatu.Gardner (1986 & 1988) melalui observasinya menegaskan bahwa
kepemimpinan tidak lebih darisekedar menduduki
suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan, yang mungkin akan sangat mendukung proses kepemimpinan, namun jika hanya sekedar menduduki posisi tersebut itu tidak otomatis menjadikan seseorang layak disebut sebagai seorang pemimpin. Secara singkat bisa dirumuskan
bahwa leader by action but leader not by position yang artinya bahwa
kepemimpinan itu tidak harus terikat pada suatu posisi, jabatan atau kedudukan
belaka tapi yang paling penting sikap dan perbuatan mampu menunjukan bahwa ia
seorang pemimpin sesuai dengan profesi dan keahliannya masing-masing yang mampu membawa anggota atau masyarakatnya
untuk mencapai tujuan bersama.
2.2 Definisi Menurut Naskah Sunda
Kemudian
apabila kita gali dari SSK III bahwa pemimpin di istilahkan sebagai parigeuing
yang berarti mengingatkan, secara lebih jauh mengandung pengertian
bahwa seorang pemimpin itu harus selalu eling mengingatkan para anggotanya
untuk mencapai tujuan melalui jalan yang benar. Hal ini sejalan dengan intisari
surat : Wall asri : Marilah kita saling
mengingatkan tentang kebenaran dengan penuh kesabaran (Wattawwa saubillhaq
wattawwa saubilsobr). Kepemimpinan juga harus mengacu pada konsep Tri Tangtu
Dibuana (Tiga Ketentuan untuk Keseimbangan Dunia) yakni sebagai Prabu yang
melambangkan jagat keamanan, Rama sebagai jagat kemakmuran, Resi sebagai jagat
kesejahteraan dan keadilan. Konsep selanjutnya adalah pemipin sebagai Hulun
(abdi), Ratu (Pemimpin) dan Palanka (Negarawan) yang artinya
bahwa sifat utama sebagai pemimpin itu harus mampu sebagai abdi dulu, sebagai
pelayan dari masyarakatnya jangan sekali-kali bermimpi menjadi pemimpin kalau
belum mampu menjadi seorang abdi/ pelayan dari masyarakatnya (satya
Ha Prabu.) setelah itu baru sesorang berhak sebagi pemimpin yang harus
mempunyai sifat utama yakni bawalaksana (konsekuen, konsisten, komitmen) sacidu
metu seucap nyata, satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan dimana
kesemuanya itu semata-mata hanya untuk Palanka sebagai pemimpin yang negarawan
yang senantiasa mengutamakan kepentingan orang banyak daripada kepentingan
pribadinya serta yang mampu ngalambakeun jalma rea (mensejahterakan masyarakat
banyak) disertai dengan sifat yang rendah hati dan tidak serakah sebagaimana
yang tertuang dalam prasasti kawali pakeun heubeul jaya dibuana pake gawe kreta
bener pake gawe kreta raharja, ulah botoh bisi kokoro. Dan yang
terakhir dalam membawa masyarakatnya untuk mencapai tujuan dilakukan dengan
sangat halus sehingga masyarakat tersebut tidak terasa dibawa ke arah tujuan
tersebut seperti air sungai yang
mengalir (Ilmu wujud patan jala), bahkan siapapun yang dititahkan mendapat
tugas untuk mencapai tujuan tersebut merasa senang dan bangga karena sebagai
tugas bangsa dan negara.
Oleh sebab
itu Kepemimpinan harus mampu mengajak
atau membujuk orang lain untuk mengambil
tindakan. Pemimpin harus mampu membujuk pengikutnya melalui berbagai cara,
seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi
teladan), penetapan sasaran bersama, mampu memberi penghargaan (reward) dan
hukuman (punishment),
restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan visi.
Seseorang disebut pemimpin, jika sudah mampu memiliki dan menyelaraskan konsep (idea, pemikiran), norma (aturan), dan mewujudkan
aktualisasi
kepemimpinanya (perilaku) kepemimpinannya. Intisari kepemimpinan
adalah
kualitas tingkah laku dan kemampuan individu
dalam berinteraksi sosial untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati
bersama. Gaya kepemimpinan dapat berorientasi kepada hubungan yang harus dibina
dengan kelompoknya (concern for people) dan berorientasi kepada hasil
yang ingin dicapainya (concern for production). Semua ini perlu dikaji
secara menyeluruh, yang mencakup tataran IQ (Intelectual Quotient), EQ (Emotional
Quotient), SQ (Spiritual Quotient), dan AQ (Actional Quotient)
sebagai sinergi pragmatiknya (Suryalaga, 2009: 129-130).
2.3 Gaya Kepemimpinan
Gaya atau style kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan seorang
pemimpin dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau bawahannya. Istilahgaya
secara mendasar sama dengan ‘cara’ yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam
mempengaruhi para pengikut atau bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan normaperilaku
yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku
orang lain seperti yang Ia lihat (Thoha, 2009: 49).
Ada sebuah pertanyaan yang secara
refleks mungkin bisa dan tidak bisa dijawab oleh hadirin di sini.Apa pentingnya
sebuah ‘naskah kuno’ bagi peradaban dan perkembangan budaya masa kini, dan
mengapa naskah sangat penting bagi kehidupan masyarakat masa kini? Naskah
sebagai dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun sebenarnyamasih
sangat menarik kita gali, ungkap, bahkan dapat kita jadikan sekadar tuntunan
moral dalam kehidupan kita saat ini. Penggalian teks naskah-naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makasar, Batak dan lain-laintersebutdapat membantu kita mengungkap kearifan lokal
budaya Bangsa kitadimasa silam
yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”, justru
dengan mengacu pada kearifan bangsa kita sendiri pasti akan lebih membumi,
karena sudah jadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji
ratusan bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter masyarakat
itu sendiri.Yang mana saat ini kita terlalu sering berorientasi pada konsep
kepemimpinan model Eropa/Barat yang tentu saja belum tentu sesuai dengan
tradisi akar budaya ketimuran yang akhirnya menjadikan kita sebagai : Tuan
asing dirumah sendiri sehingga bisa jadi “salah asuh” dari awal, karena terbius
oleh konsep-konsep yang belum tentu sesuai dengan budaya kita. Dalam hal ini
bukanya Penulis anti dengan konsep Barat, konsep-konsep Barat yang baik tetap
akan kita jadikan referensi, namun kita harus lebih mengutamakan dan menggali
konsep-konsep kearifan lokal kita yang sudah teruji, adapun konsep Barat bisa
berperan sebagai pendukung dari konsep kearifan lokal kita sendiri, sehingga dengan
demikian konsep-konsep, ilmu-ilmu, dan filosofi lokal, bisa menjadiTuan dirumah
kita sendiri.
2.3 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
2.3.1 Naskah Sanghyang Hayu
Istilah
“Parigeuing”atau kepemimpinan ala Sunda yang terungkap dalam naskah SSK,yang ditulis pada abad ke-16 Masehi, merupakan
naskah kuno yang terbuat dari kulit nipah. Secara umum isinya mengisahkan tuntunan atau
tatacara dalam upaya mencapai kebaikan hidup. Kemudian
konsep kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Hayu pun
mendasari konsep tiga rahasia, atau yang
lebih dikenaldengan konseptri tangtu
di buanadalam SSKK yang
dikenal sebagai Tri geuing yaitu : geuing (sandang), upa geuing (pangan), dan parigeuing
(memimpin), dimana dalam Naskah Sanghyang Hayu konsep Tri Tangtu tersebut
dibagi dalam 5 bagian yakni:
1. Budi (bijak) – guna (arif) – pradana
(saleh)
2. Kaya (sehat/kuat) –
wak (wadah/badan) – cita (punya tujuan)
3. Pratiwi (bumi) – akasa (angkasa) – antara (antara)
4. Mata (penglihatan) – tutuk (ucapan) – talinga
(pendengaran)
5. Bayu (angin) – sabda (amanah) – hedap
(tekad).
Konsep Tri Tangtu di buana ini merupakan sebuah konsep
Kesisteman dalam pola berperilaku suku bangsa Sunda/Nusantara pada umumnya baik
perilaku dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang mengisyaratkan tiga ketentuan sebagai satu kesatuan, berbeda-beda
tetapi tetap satu atau yang sekarang kita kenal sebagai Bhineka Tunggal Ika.
Kelima belas karakter seperti
tersurat dalam naskah Sanghyang Hayu harus
mendarah daging dalam diri seorang pemimpin, dan untuk bisa menjadifigur seorang
pemimpin ideal harus berpegang teguh kepada prinsip astaguna ‘delapan
kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan selaras, baik, dan harmonis.
Kedelapan kearifan tersebut sebagaimana dikemukakan Darsa (1998) adalah sebagai berikut:
a. Animan (lemah lembut), seorang pemimpin harus memiliki sifat
yang lemah lembut, dalam arti tidak berperilaku kasar, agar orang yang
dipimpinnya merasa diperhatikan.
b. Ahiman (tegas), seorang pemimpin harus bersikap tegas, dalam
pengertian tidak plin plan (panceg hate)
c. Mahiman (berwawasan luas), seorang pemimpin tentu saja harus memiliki
berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi agar tidak kalah dari
bawahannya.
d. Lagiman (gesit/cekatan/trampil), seorang pemimpin pun dituntut
agar Dia trampil dan gesit serta cekatan dalam bertindak atau melakukan suatu
pekerjaan
e. Prapti (tepat sasaran), seorang pemimpin harus memiliki
ketajaman berpikir serta tepat sasaran, karena jika keliru atau berspekulasi
hal itu akan menghambat suatu pekerjaan.
f. Prakamya (ulet/tekun), seorang pemimpin juga tentu saja harus
memiliki keuletan dan ketekunan yang sangat tinggi. Pemimpin tidak boleh putus
asa agar semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik dan berhasil guna.
g. Isitwa (jujur), seorang pemimpin dituntut memiliki
kejujuran, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan agar dipercaya
oleh orang lain (rekan kerja/bisnis/perusahaan/negara lain) maupun bawahannya,
sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis.
h. Wasitwa (terbuka untuk dikritik), seorang pemimpin harus
memiliki sikap ‘legowo’ dan bijaksana sehingga mau menerima saran dan terbuka
untuk dikritik jika pemimpin itu berbuat salah atau menyimpang dari aturan yang
ditetapkan.
Kepemimpinan
Astaguna ini sejalan dengan teori “kepemimpinan berdasarkan sifat” sebagaimana
dikemukakan LL. Barnard (1426), Kilbourne (1927) page (1935) dan Locke &
Patrick (1991) yang menitik beratkan bahwa sebagai seorang pimpinan harus
memiliki sifat – sifat yang unggul sebagai sebuah ciri khas yang membedakan ia
sebagai pemimpin dengan manusia-manusia lainya, atau sejalan dengan teori “Role Leadership" dari Homan
(1950), Kahn (1970), Hunt (1976), Mintzberg (1978) yang menitik beratkan pada
karakter pemimpin yang harus punya peran khusus dalam kelompoknya yang sesuai
dengan situasi dan kondisi yang diperlukan pada saat tersebut.
2.3.2 Sanghyang Siksakandang Karesian
Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK) mengulas
dan mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta
dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam rangka membina serta memimpin
bawahannya, yang dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta.
Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang mampu menenangkan hati sebagai berikut:
a. Guna ‘bijaksana/ kebajikan, perintah
yang diberikan oleh seorang pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya oleh
bawahannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
b. Ramah ‘bertindak seperti orang tua yang bijak dan ramah/bestari’, keramahan seorang pemimpin akan menumbuhkan
rasa nyaman dalam bekerja dan beraktifitas. Iklim yang kondusif dan mengesankan
adanya keramah tamahan
akan menjadi ‘habitat’ yang sangat baik dan menyenangkan.
c. Hook‘sayang atau kagum’, perintah seorang pemimpin dianggap sebagai representasi
kekaguman atas prestasi dari orang yang diperintahnya.
d.
Pésok‘memikat
hati atau reueus/bangga’,seorang
pemimpin harus mampu memikat hati bawahannya serta merupakan ‘kareueus’ kebanggaan juga bagi
bawahannya. Perintah yang disampaikan oleh seorang pemimpin disampaikan dengan
cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang diperintah. Hal demikian akan mampu
mendorong kepercayaan bawahan yang diperintah.
e.
Asih ‘kasih, sayang, cinta kasih, iba’, perintah pemimpin harus dilandasi dengan perasaan kemanusiaan
yang penuh getaran kasih.
f.
Karunya‘ iba/sayang/belas kasih’, sebenarnya hampir sama dengan asih, namun dalam karunya perintah pemimpin harus terasa sebagai suatu kepercayaan dari pemimpin
kepada yang dipimpinnya
g.
Mupreruk‘membujuk dan menentramkan hati’, seorang pemimpin
seyogyanya mampu membujuk dan menentramkan hati yang dipimpinnya dengan cara
menumbuhkan semangat kerjanya.
h.
Ngulas‘memuji di samping mengulas, mengoreksi’. Seorang
pemimpin tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan yang dipimpinnya
sebagai penghargaan dan pendorong ke
arah yang lebih baik.
i.
Nyecep‘membesarkan hati dan memberikan kata-kata pendingin
yang menyejukkan hati’, bisa juga diartikan memberi perhatian baik berupa moril maupun materiil, walau hanya berupa ucapa terima kasih atau pemberian
ala kadarnya sebagai penyejuk hati. Demikian juga dikala bawahanya mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu
pekerjaan. Jangan dicela atau dijatuhkan tapi tetap diberi dorongan
moril agar lebih semangat lagi.
j.
Ngala angen‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati
bawahannya atau yang dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan silaturahim yang
kental dan harmonis.
Dasa Prasanta
tersebut, apabila kita cermati
secara saksama, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan
antarmanusia, tetapi
tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses komunikasinya tetap
menggunakan asas silih asih, silih asah, dan
silih
asuh
Karena
Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas
hubungan antar manusia (human
relationship) namun tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh
yang kaku dan otoriter. Dimana dalam proses
komunikasinya menggunakan silih asih, silih asah, dan silih asuh. Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki
keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah “mumpuni”. Dalam arti, seorang pemimpin harus “kharismatik”, mempunyai “pamor”
atau “tuah”yang terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga
akan tampak dalam ciri
kepemimpinannya. Konsep dasa prasanta merupakan intisari dari‘ilmu human
relation dalam manajemen’, meskipun secara tersirat
dikatakan bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya
melekat karakter kepemimpinan yang disebut
pangimbuhning twah
atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor).
Dasa Prasanta ini bila kita analisis berdasarkan
konsep-konsep kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori “Kepemimpinan Humanistik”
sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake & Mourton (1964),
atau Likert (1967) yang menitik beratkan pada “pengembangan motivasi”, atau juga bisa sejalan dengan teori
“Kepemimpinan Managerial Strategis”
sebagaimana dikemukakan Buckingham & Coffmant (1999), Drucker (1999), atau
Kotter (1998) yang juga menitik beratkan pada penyelarasan visi, memberikan
inspirasi serta memotivasi dan memberi semangat para pengikutnya. Dasa prasanta
inipun juga sejalan dengan teori “Transformasional
nilai” sebagaimana dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns (1978) atau De
Pree (1995) yang menitik beratkan pada penyelarasan, penciptaan, dan
pemberdayaan sehingga pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling
mengangkat satu sama lain ke tingkat moralitas & motivasi yang lebih
tinggi.
Ada dua belas unsure pangimbuhning twah yang harus menjadi ciri-ciri
karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitik beratkan kepada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang
pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan
sebagaimana tertuang dalam naskah SSK
(bandingkan
Suryalaga 2009:141), yang meliputi :
a. Emét artinya ‘tidak konsumtif’.
Seorang pemimpin yang terbiasa untuk tidak konsumtif, akan mampu mengendalikan
keserakahannya. Pemimpin demikian akan
terhindar dari perilaku korup yang tentu saja harus dihindari oleh seorang
pemimpin.
b. Imeut‘teliti, cermat’. Jika seorang pemimpin ceroboh dan
kurang teliti terhadap pekerjaannya, maka banyak waktu yang terbuang untuk
memperbaiki kekeliruannya karena ketidakcermatan yang telah diperbuatnya.
c. Rajeun‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya,
pemimpin yang demikian mampu memanfaatkan durasi usianya dengan pekerjaan yang
ditekuninya, bagi pemimpin seperti ini tidak ada hari yang terbuang secara
percuma.
d. Leukeun‘tekun’.Ketekunan dalam mencapai
tujuan yang dicita-citakan. Ketekunan selalu berkaitan erat dengan kesabaran.
e. Paka Pradana ‘berani tampil/berbusana sopan, beretika’.
Seorang pemimpin yang tanpa berbekal etika dalam pergaulan, perasaan
simpati dan empati pun akan menghilang secara perlahan.
f. Morogol-rogol‘bersemangat, beretos kerja tinggi’.
Keinginannya untuk berkarya dengan kualitas unggul dan terbaik, akan mendorong
kemampuan ruhaniah yang memompa talenta positif seorang pemimpin untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.
g. Purusa ning sa‘ berjiwa
pahlawan, jujur, berani’. Kreasi dan inovasi serta pembaharuan yang berkualitas
prima hanya terlahir dari pemimpin yang berjiwa pahlawan. Para pembaharu yang
berani menantang kemandegan pemikiran manusia. Kejujuran diibaratkan jarum
kompas penunjuk arah yang benar.
h. Widagda‘bijaksana, rasional dan memiliki
keseimbangan rasa’. Kesombongan rasio yang kadang-kadang sangat
mendominasi pemikiran manusia perlu diimbangi dengan rasa sejati kemanusiaan.
i. Gapitan‘berani berkorban untuk keyakinan dirinya’.
Keyakinan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai visi hidup seorang
pemimpin.
j. Karawaléya‘dermawan’.Hidup adalah
kebersamaan dengan orang lain. Kepedulian sosial sangat diperlukan
dari seorang pemimpin.
k. Cangcingan‘terampil, cekatan’. Hanya pemimpin yang
cekatan yang mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena kesempatan tidak
datang dua kali.
l. Langsitan‘rapekan’, segala bisa, multi talenta
dan pro aktif. Pemimpin yang pro aktif lah yang berkesempatan meraih sukses.
Konsep, pola, figur, dan gaya
kepemimpinan berdasarkan naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian sesuai tugasnya, bahwa seorang Prabu sebagai pemimpin roda
pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat
batu 'berwatak teguh' serta
harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam
arti bahwa seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan dan
memberdayakan semesta dunia kehidupan. Kita paham benar bahwa dunia kehidupan
tersebut meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan lahir batin.
Dengan demikian, tugas pemimpin
adalah mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermatabat dan
penuh dengan rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT yang Maha Pengasih serta
Maha Penyayang. Itulah yang dimaksud dengan tujuan akhir berbangsa dan
bernegara untuk mewujudkan masyarakat yang Tata Tentrem Kertaraharja membangun kekuatan dalam damai untuk mewujudkan
kesejahteraan bangsa.
Pangimbuhan
Twah inipun bila kita kaji sejalan dengan teori “Kepemimpinan Kharismatik”
sebagaimana dikemukakan Maxwell (1999), Arthur (1993), atau Weber yang meneliti
sejak tahun 1947 yang menitik beratkan pada kekuatan pengaruh, tradisi atau
kualitas unggul yang dimiliki seseorang, atau juga sejalan dengan teori “kepemimpinan
yang Aspiratif & Visioner” sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzes
& Posner (1998), Peter Walkman (1990), atau Richard Engle (1986), yang
menitik beratkan pada segi untuk menggerakkan sehingga pimpinan berperan
sebagai kompas, pemandu, sehingga orang lain bersedia berjuang untuk tujuan
bersama, kemudian pangimbuhan Twah inipun juga sejalan dengan teori “Kepemimpinan
Spiritual” model Green Lest (1996), Spears & Frick (1992), Fairhom
(1993) atau Maxwell (1993) yang menitik beratkan pada besarnya pengaruh dari
seorang pimpinan yang punya komitmen terhadap spiritual , adat, budaya, nilai,
dan tradisi masyarakat/lingkungan/tradisi organisasi.
2.3.3 Fragment Carita Parahiyangan (FCP)
Masalah kepemimpinan juga terungkap
dalam naskah Fragmént Carita Parahiyangan
(FCP). Pola kepemimpinan yang tersirat dalam FCP, adalah bahwa Tarusbawa sebagai prebu
(pemimpin roda pemerintahan pusat) membawahi beberapa penguasa wilayah
yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan
pihak rama 'tokoh
masyarakat wakil rakyat' dan pihak’ resi 'penentu kebijakan
hukum'. Sistem pembagian
kekuasaan seperti itu dikenal dengan
sebutan Tri Tangtu di buana 'tiga unsur penentu kehidupan di dunia',
terdiri atas prebu, rama
dan resi. sebagai:
a. Prebu adalah
pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh
pemerintah) yang harus ngagurat batu 'berwatak teguh'.
b. Rama adalah golongan yang dituakan
sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang
harus ngagurat lemah “berwatak menentukan hal yang mesti dipijak”.
c. Resi adalah
golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama
”negara” (yudikatif atau saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang
harus ngagurat cai 'berwatak menyejukkan serperti air, sesuai takaranya
dan selalu mengalir kebawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan'.
Andai kita simak lebih saksama,
sistem politik Sunda masa silam sebagaimana terungkap dalam naskah Fragment Carita Parahiyangan yang
dikenal dengan tri tangtu di buana, selama
ini dikenal seolah-olah berasal
dari “trias
politica”nya Montesque yang mulai membumi pada abad
XVIII Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun,
mungkin hal itu dianggapnya benar, namun bagi filolog yang menguasai naskah, akan merasa aneh.
Justru pembagian sistem pemerintahan dan politik tersebut sebenarnya sudah
diejawantahkan dalam pemerintah Sunda sejak abad ke-VIII M).hal ini
membuktikan bahwa leluhur kita masa
lampau itu merupakan
orang-orang yang bijak dan cerdas yang
ternyata sudah mampu melaksanakan teori trias
politica dari Perancis. Sepuluh abad sebelum teori itu sendiri lahir,
sehingga disini peran Prabu sebagai raja tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter
dengan kekuasaan tanpa batas. Tapi ada penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan
Resi. bahkan seorang raja tidak akan bisa bertahta sebagai raja tanpa adanya
restu dari Rama dan Resi, sehingga ada sebuah filosofi yang dikenal dengan :
Galunggung ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora yang artinya seorang
tumenggung atau raja baru bisa dikatakan resmi sebagai raja bila sudah ada
restu dari Galunggung sebagai pusat Rama dan Resi. hal ini dibuktikan dari
beberapa kejadian literatur sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran antara
lain : naiknya Prabu Permana Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke VIII) atau di
angkatnya Jaya Dewata/Sri Baduga Maharaja sebagai raja di Pajajaran (abad XV)
sebagai akibat dileburnya dua kerajaan Sunda dan Galuh.
2.3.4 Pantangan-Pantangan dalam Kepemimpinan
Naskah Amanat Galunggung (AG)
menjelaskan ada empat larangan bagi seorang pemimpin dalam cara memerintash,
yakni :
a.
mulah
kwanta (jangan
berteriak)
b.
mulah majar
laksana (jangan
menyindir)
c.
mulah
madahkeun pada janma;(jangan menjelekkan orang lain)
d.
mulah sabda
ngapus (jangan
berbohong).
AG Verso VI mengungkap pantangan-pantangan
sebagai pimpinan dalam ilmu wujud air “patanjala”, bahwa seorang pemimpin:
a.
jangan mudah terpengaruh
b.
jangan peduli terhadap godaan
c.
jangan dengarkan ucapan yang buruk
d.
Pemimpin harus visioner berpusat kepada tujuan dan
cita-cita, sebagaimana dikemukakan Seth Kahan (2002).
Kepemimpinan ini bisa
dikategorikan sebagai pemimpin yang visioner sejalan dengan teori “Kepemimpinan model jalur dan tujuan” sebagaimana dikemukakan
M.G Evans (1970) House dan Dessler (1974) yang menitik beratkan pada perbuatan
kinerja anggota yang harus sesuai dengan norma, aturan, atau protap dan standar
kerja. Kemudian juga sejalan dengan model “kepemimpinan berdasarkan output” sebagaimana
dikemukakan Clitton dan Ulrich (2001) bahwa titik berat kepemimpinan adalah
keberhasilan dalam mencapai tujuan dengan melalui proses yang benar pula.
2.3.5 Pemimpin Sebagai Abdi
SSK VI mengungkap “sikap pemimpin
sebagai abdi”, yakni memberikan sebuah pesan bahwa prasyarat sebelum jadi
pimpinan harus mampu dulu bersikap sebagai abdi artinya jangan bermimpi bisa
menjadi pemimpin yang baik sebelum mampu lulus dan berperan sebagai abdi,
sehingga konsep kepemimpinan tersebut terbagi dalam 3 konsepsi yakni :
a.
sebagai Hulun
(abdi)
b.
sebagai Palanka
(wadah/pemerintah)
c.
sebagai Prebu
(pimpinan)
karena pada hakekatnya seorang pemimpin itu hanyalah seorang
abdi utama, sebagai pelayan; bahkan dalam “8 habbits” dikatakan pemimpin
tertinggi tk. 5 (lima) adalah;“seorang
pemimpin yang mampu mengabdikan dirinya tanpa batas/melayani tanpa batas dengan
disertai sikap kerendahan hati serta konsisten untuk tetap mengingatkan tentang
kebenaran tak terhingga”. Adapun sifat-sifat pemimpin sebagai abdi antara
lain:
a.
Mulah luhya
(‘jangan mengeluh’)
b.
Mulah
kuciwa (‘jangan
kecewa’)
c.
Mulah
ngontong dipiwarang (‘jangan
sulit diperintah)
d.
Mulah hiri ‘jangan
iri’, dan mulah dengki (‘jangan dengki’).
e.
Mulah Nyey
Nyot Tineung urang (tidak pernah goyah)
f.
Mulah
Kukulutus (tidak pernah menggerutu)
g.
Haywa
Pamali (tidak pernah melanggar pantangan)
h.
Deung
deungan sakahulunan (tidak mencelakakan sesama)
Hal inipun sejalan dengan teori “Kepemimpinan sebagai Pelayan” dari
Farhom (1994), Benge (1950), atau Schein (1992) menyiratkan bahwa pada
hakekatnya pemimpin itu adalah melayani orang lain, melayani masyarakat dan
melayani kepentingan organisasi sehingga seorang pimpinan harus bersikap
empati, tanggung jawab, persuasif, pendengar yang baik, komitmen, konsisten dan
konsekuen.
Sikap-sikap pemimpin sebagai abdi yang lain yang
tercatat dalam naskah SSK adalah sebagai 4 pantangan yang harus dihindari
antara lain:
a.
Mulah
Babarian (jangan mudah tersinggung)
b.
Mulah pundungan (jangan
mudah merajuk)
c.
Mulah
humandeuar (jangan mudah berkeluh kesah)
d.
Mulah
kukulutus (jangan menggerutu).
Adapun sikap
seorang pemimpin sebagai abdi yang terakhir sesuai dengan SSK-IV bahwa, pengabdian itu pada hakekatnya adalah
ibadah, bekerja menanam budi (ini karma ning hulun, saka jalan urang
hulun, karmo ma) maka sebagai seorang pimpinan
a.
Hendaknya takut (maka takut)
b.
Hendaknya segan (malah
jarot)
c.
Hendaknya hormati (maka atong)
d.
Hendaknya sungguh-sungguh (maka teuing).
Berkaitan dengan larangan,
SSK mengungkap bahwa pemimpin harus
mampu menjaga dasa kreta sebagai perwujudan dasa indra, yakni harus menjaga mata, telinga, kulit, lidah, hidung, mulut,
tangan, kaki, badan, dan aurat sejalan dengan dengan QS Al Araaf 179.
Naskah SSK
selain mengupas sifat baik
dan buruk seorang
pemimpin, juga tertuang watak manusia yang membuat kerusakan di dunia
yang disebut Catur Buta, yaitu empat watak manusia yang berkarakter
raksara perusak kehidupan, yakni:
a. Burangkak (mengerikan),
dikenal
sebagai mahluk maha gila yang sangat mengerikan, tidak ramah,
sering membentak. Burangkak berkelakuan kasar, berhati
panas, tidak tahu tatakrama dan sering melanggar aturan. Merasa derajatnya
lebih tinggi dari orang lain.
b. Mariris (tega/menjijikan), orang yang menjijikan lebih
dari bangkai binatang yang membusuk; manusia yang suka mengambil hak orang
lain, korup, menipu, berdusta.
c. Maréndé (menakutkan), dalamSSK adalah sebangsa raksasa bermuka
api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin
tersebut berwatak dingin menyejukkan, mampu membawa masyarakat hidup damai dan
tentram, namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah membawa panas dan
menimbulkan bencana di masyarakat.
d. Wirang (memalukan, licik),
dalam
SSK ditampilkan sebagai binatang yang menakutkan, yaitu orang
yang tidak mau jujur, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus
terang, `serta selalu menyalahkan orang lain.
Salah
satu prasyarat utama sebagai seorang abdi adalah: kesetiaan (Satya dikahulunan)
yang diwujudkan dalam bentuk bakti, kemudian kepada siapa saja wujud bakti dan
kesetiaan itu harus diberikan, yakni:
a.
Bakti dan kesetiaan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa
b.
Bakti dan kesetiaan kepada Orang tua
c.
Bakti dan kesetiaan kepada Negara
d.
Bakti dan kesetiaan kepada Tujuan mulia
e.
Bakti dan kesetiaan kepada masyarakat
f.
Bakti dan kesetiaan kepadaPemimpin
g.
Bakti dan kesetiaan kepada Diri sendiri
Adapunmenurut naskah SSK-Idikenal dengan istilah
Dasa perbakti yakni:
a.
Anak berbakti kepada Orang tua :
(Anak bakti dibapak)
b.
Istri berbakti kepada Suami :(Ewe
dibakti dilaki)
c.
Hamba berbakti kepada majikan :
(Hulun bakti dipacandaan)
d.
Siswa berbakti kepada guru :
(Siswa bakti diguru)
e.
Petani berbakti kepada Mandor :
(Wang tani bakti diwado)
f.
Mandor berbakti kepada Mantri :
(Wado bakti dimantri)
g. Mantri berbakti kepada Mangkubumi :(Mantribakti dimangkubumi)
h.
Mangkubumi berbakti kepada Raja :(Mangkubumi
bakti diRatu)
i.
Raja berbakti kepada Dewa :(Ratu
bakti diDewata)
j.
Dewa berbakti kepada Tuhan :
(Dewata bakti diHyang)
Jika kita lihat konsep bakti dalam naskah SSK ini berawal dari:
a.
Konsep bakti dilingkungan
keluarga (anak, bapak, suami, istri)
b.
Konsep bakti dilingkungan
pendidikan (siswa dan guru)
c.
Konsep bakti dilingkungan
masyarakat (hamba, majikan, petani, mandor)
d.
Konsep bakti dilingkungan
pemerintahan (mantri, mangkubumi, raja)
e.
Konsep bakti dilingkungan
moral spiritual ketuhanan (dewa dan hyang)
Konsep kesetiaan sebagai abdi inipun tersurat dalam Filosofi dan
pengertian dari huruf Jawa kuno yaitu : Hanacaraka, Datasawala,
padajayanya, Magabatanga yang artinya ada prajurit sebagai duta/utusan
yang membawa berita namun karena kesetiaanya terhadap perintah raja akhirnya
membawa kesetiaanya sampai mati. Dalam hal ini tersurat bahwa kesetiaan itu
harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Kemudian apabila kita tinjau konsep pengabdian ini dari sisi agama
sebagaimana tersirat dalam Al Quran (Al Dzariat 51:56) dikatakan :
“tidak aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaku” dan lebih
jauh dikatakan dalam surat Al Fatihah yang berbunyi : “ iyyaa kana’
budu wa’iyaa kanas ta’in” (hanya kepadamu kami mengabdi dan hanya
kepadamu kami memohon pertolongan) jadi artinya tugas manusia didunia ini sesungguhnya
hanya semata-mata untuk mengabdidan diingatkan kepada manusia jangan
meminta pertolongan dulu sebelum bisa mengabdi dengan sempurna, karena
kebiasaan yang terjadi manusia selalu meminta pertolongan tapi tidak ingat
bahkan tidak pernah mengabdi baik kepada sesama apalagi kepada yang maha kuasa.
2.3.6 Kepemimpinan Sebagai
Negarawan (Prabu ing Palanka)
Sebuah bangsa bisa banyak melahirkan para pemimpin
yang qualified, tetapi belum tentu mampu melahirkan sosok-sosok Negarawan yang
unggul. Karena seorang pemimpin baru bisa dikatakan sebagai pemimpin yang
hebat, mumpuni, bila ia sudah mampu bersikap sebagai seorang Negarawan dalam
arti kata, seorang Negarawan pasti seorang pemimpin, tetapi seorang pemimpin
belum tentu mampu bersikap sebagai seorang Negarawan. Adapun sikap-sikap yang
harus dipunyai oleh seorang Negarawan seperti yang tersurat dalam Amanat
Galuggung Rekto 1:
a.
Jangan bentrok : Mulah Pabuang
b.
Jangan berselisih paham : Mulah
Pasalahan paksa
c.
Jangan saling bersikeras : Mulah
Pakeudeu-keudeu
d.
Jangan mempertentangkan : Mungku
urang miprangkeun
Tentang kebenaran dibener
e.
Jangan saling curiga : Mulah nenget sama hulun
f.
Jangan berebut kedudukan : Haywa
pa ala-ala palungguhan
g.
Jangan berebut pekerjaan : Haywa
pa ala-ala pamonang
h.
Jangan berebut jasa : Haywa pa ala-ala demakan
i.
Jangan merampas milik orang : Mulah
ngarampas tanpa dwasa
lain
j.
Jangan menyakiti orang lain : Mulah
midukaan tanpa dwasa
k.
Hendaknya hidup rukun : Masing
Rampes
l.
Jangan sampai tanah leluhur : Jaga
dapetna pretapa, dapetna
Dikuasai orang lain pegengeun sakti Beunangna
(Cinta tanah air) ku asing
Itulah sikap-sikap yang
harus dimiliki oleh seorang pimpinan sebagai Negarawan, bahkan ada amanat
khusus yang menitik beratkan pada arti penting Cinta tanah air, arti penting
agar para ksatria para generasi muda
kader-kader penerus bangsa mampu mempertahankan tanah leluhurnya (kabuyutan), mampu
mempertahankan tanah airnya jangan sampai terkuasai oleh orang asing atau oleh
para kapitalis. Bahkan karena dianggap sangat penting sikap untuk
mempertahankan tanah air ini sampai-sampai ada sumpah atau amanat khusus dari
seorang raja Galuh Prabu Darma Siksa (abad XII) bagi para penerusnya bila tidak
mampu mempertahankanya. Maka ia diakatakan lebih hina dari sampah yang paling
busuk yang ada di jarian yakni:
-
Jaga direbutnya
/dikuasainya tanah laluhur oleh orang lain(Jaga beunangna kabuyutan ku
sakalih).
-
Akan banyak para pedagang
yang ingin merebut tanah leluhur (Banyaga nu dek ngarebut kabuyutan).
-
Yakni orang-orang Asing
yang ingin memrebut tanah leluhur (Asing iya nu meunangkeun kabuyutan).
-
Lebih berharga kulit musang
ditempat sampah daripada Rajaputra tidak mampu mempertahankan tanah leluhur
yang direbut orang lain (Mulyana kulit lasun di jaryan, modalna rajaputra
antukna beunang ku sakalih).
Kemudian lebih lanjut dijelaskan dalam SSK-Rekto III sikap pemimpin
sebagai Negarawan “hendaknya berbuat kemulyaan yang
menitik beratkan pada satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan” (maka pada
mulya, ku ambeg, ku sabda, ku hidep) atau sikap “Bawalaksana”(Komitmen,
konsisten, konsekuen, dan bertanggung jawab) sebagaimana diungkapkan dalam
buku Sabda Pandhita Ratu, sebagai sikap utama yang harus dimiliki
oleh seorang pimpinan. Sehingga pimpinan sebagai Negarawan (Pandhita Ratu). Berbuat
tidak untuk mengejar kedudukan (kalungguhan), tidak mengejar jabatan /pekerjaan
(pamonangan) atau mengejar jasa dan rejeki (demakan), mengajar sebuah posisi
(position) atau status. Tapi lebih menitik beratkan pada role (peranan) atau
perbuatan (action). Yakni sebagai : “Leader by action is not leader by
position” atau “leadership by role but not leadership by status”.
Untuk mengejar kemulyaan Bangsa dan Negara yang dilaksanakan dengan sikap “Bawalaksana”
tadi, dengan sepenuh tanggung
jawab berikut segala resikonya. Hal ini sejalan pula dengan hadist dan
Al-Quran “tidak aku jadikan engkau khalifah dimuka bumi melainkan nanti
akan aku minta pertanggung jawabanya”, sehingga sebagai seorang pemimpin harus
mampu bertanggung jawab baik lahir maupun bathin, baik dunia maupun akhirat.
Makanya golongan pertama manusia yang akan masuk Surga adalah : “seorang
pemimpin yang adil”.
2.3.7 Delapan Karakter
Kepemimpinan Sunda
Kita
sering mendengar istilah cageur (sehat), bageur (baik
perilakunya), bener (benar), pinter (berwawasan luas), tur singer (terampil), yang
dianggap sebagai sifat dan karakter yang harus dimiliki orang Sunda. Kelima
istilah tersebut sebenarnya berkaitan erat dengan karakter ‘pemimpin’
sebagaimana diungkapkan naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian (SKK), Fragment Carita Parahiyangan (FCP), Amanat
Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH).
Naskah
Sunda mengisyaratkan delapan sikep
‘karakter’ yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Di samping cageur (sehat), bageur (baik perilakunya), bener
(benar), pinter (berwawasan luas), singer (terampil), dikenal pula
istilah teger (ulet), tajeur (tangguh), dan wanter (berani), yang bisa dibandingkan dengan
6 (enam) Prinsip Leadership Modern Model
FBI 2012, tanpa tajeur
dan wanter.
Beragam kamus bahasa Sunda yang
disusun R. Satjadibrata, R. A.
Danadibrata, atau LBSS hanya
menjelaskan arti secara leksikal.
a.
Cageur diartikan
tidak sedang terkena penyakit, sehat atau sudah/baru sembuh. Pemimpin Sunda
harus memiliki badan kaya (sehat/kuat)–wak (bersabda/enerjik)–cita (senantiasa
memelihara hati). Seorang
pemimpin harus sehat, kuat, enerjik, dan senantiasa bertindak dengan hati, yang
berkaitan dengan AQdan PQ (Phisical
Ability).
b.
Bageur adalahorang
yang suka memberi, baik perilakunya, dan tidak nakal. Seorang pemimpin harus
memiliki sikap animan (lemah lembut), dalam arti tidak berperilaku kasar. Bageur lebih mengarah kepada
perilaku budi (bijak)–guna
(arif)–pradana (saleh), dan ramah (bestari). Pemimpin harus
berperilaku arif bijaksana dan saleh, di samping bijak dalam memandang segala
hal serta ramah, karawaléya‘dermawan’. Kesalehan sosial sangat
diperlukan dari seorang pemimpin, berhubungan dengan Emotionaility
Ability/EQ.
c.
Bener‘benar’,
tidak salah, sungguh-sungguh. Seorang pemimpin harus lurus dan menjunjung
tinggi kebenaran, memiliki sifat jujur atau isitwa, baik dalam perkataan, pemikiran, maupun perbuatan
agar dipercaya oleh orang lain, sehingga terjalin kesepahaman yang harmonis. Adanya
kesepahaman antara pikiran, perasaan, dan tindakan (saciduh metu saucap nyata).
Dalam Sanghyang Hayu dikatakan adanya keselarasan antara mata (penglihatan) – tutuk
(ucapan) – talinga
(pendengaran), apa yang dilihat, dan didengar harus sesuai dengan apa yang
diucapkan, selaras dengan Moral
Ability atau SQ.
d.
Pinter‘pintar’/pandai,
berpengetahuan, mampu bekerja, mudah mengerti. Pemimpin harus mahiman (berwawasan luas dan cerdas), memiliki berbagai macam pengetahuan dan berwawasan tinggi. Seorang
pemimpin selain pinter‘cerdas’
juga harus memiliki keseimbangan rasa dalam bertindak, selaras dengan Intelectual Ability (IQ).
e.
Singer ‘trampil,
gesit, cekatan’, yang disebut dengan lagiman atau cangcingan. Langsitan ‘rapekan’ , segala bisa, multi talenta dan pro aktif Rajeun ‘rajin’. Selama hidupnya tetap berkarya. Morogol-rogol
‘bersemangat,
beretos kerja tinggi’. Keinginannya untuk berkarya dengan kualitas unggul dan
terbaik, berkenaan dengan Personal Abality (PQ).
f.
Wanter “berani
tampil dalam kondisi apapun namun luwes”. Wanter harus purusa ning sa “berjiwa pahlawan, jujur,
berani”. Kreatif
dan inovatif. Para
pembaharu yang berani menantang kemandegan pemikiran manusia. Widagda
“bijaksana, rasional dan memiliki
keseimbangan rasa”. Paka Pradana ‘berani tampil sopan,
beretika’. Gapitan “berani
berkorban untuk keyakinan dirinya”, ini
selaras dengan Sosoial Ability (SCQ)
g.
Teger ‘tidak takut
dan tidak khawatir sedikit pun’. Panceg
hatḗ ‘tidak plin plan’, kalem dan berpendirian. Seorang pemimpin harus ahiman ‘tegas’, prakamya dan leukeun ‘ulet/tekun’. Ketekunan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan dengan penuh kesabaran. Pemimpin tidak boleh putus asa
dalam menghadapi segala kondisi.Teger berkaitan dengan wasitwa ‘terbuka untuk dikritik’, ‘legowo’ dan bijaksana serta terbuka untuk dikritik, selaras dengan Reliciance Ability (RQ).
h.
Tajeur/tanjeur
‘mampu berdiri kokoh di atas kaki sendiri’. Pemimpin harus prapti ‘tepat sasaran’; memiliki ketajaman berpikir, karena jika keliru atau berspekulasi hal itu akan menghambat suatu
pekerjaan, selaras dengan Exelent Ability (ExQ).
Kedelapan
karakter orang Sunda dimaksud melekat pada seorang pimpinan maka akan
melahirkan manusia
unggul (maung) yang ulet dan tangguh, sehingga melahirkan
konsepsi ketahanan pribadi/nasional. 8 (delapan) kemampuan sebagai pemimpin ini
sejalan dengan New Leadership dari FBI USA tahun 2012, sebagaimana
disampaikan Prof. Dr. Hermawan Kertajaya pada saat rapim TNI dan Polri tahun
2013 di Auditorium PTIK Jakarta.
Dalam amanat Galunggung (AG) Verso III dirumuskan
sosok pemimpin yang ‘mulya’, yang antara lain harus mempunyai sifat-sifat:
a.
siniti‘bijak’
b.
sinityagata‘benar’
c.
siaum‘adil dan
takwa
d.
sihooh ‘serius’
e.
sikarungrungan
‘simpatik’
f.
semuguyu ‘ramah’
g.
téjah ambek
‘rendah hati/sabar
h.
guru basa ‘mantap
bicara’.
Hal
ini sejalan dengan Filder (1997),
yakni kepemimpinan pada dasarnya merupakan pola
hubungan antarindividu yang menggunakan wewenang dan pengaruh terhadap
kelompok agar bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Pemimpin yang berkarakter menurut AG adalah adanya
keberhasilan kaderisasi sebagaimana tersurat sebagai berikut:hana nguni hana mangké tanhana nguni tanhana
mangké(tidak ada dahulu kalau tidak ada sekarang, dan tidak ada diri
kita hari ini jika tidak ada para leluhur kita terdahulu) sehingga dengan
demikian yang lebih tua harus menjadi guru dan tauladan bagi yang lebih muda,
sebaliknya yang muda wajib menghormati dan mau belajar dari yang lebih tua.
Dengan demikian terjadi siklus pengkaderan secara sistimatik dari para
pendahulu kepada generasi penerusnyamaka dari itu, leadership Sunda harus diaktualisasikan secara komitmen, konsisten,
konsekuen, conection(adanya
pola hubungan yang berkelanjutan), dan
adanya komunikasi yang selaras serta harmonis antara pemimpin dengan yang
dipimpin antara para pendahulu dan penerusnya. Karena salah satu kriteria
seorang pemimpin yang baik adalah yang mampu menyiapkan kader-kader
penggantinya.
Konsep atau pola kepemimpinan yang
tersirat dalam naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian, Fragmen Carita Parahiyangan, Carita Parahiyangan, juga Sanghyang
Hayu, maupun naskah lainnya seperti Amanat
Galunggung, dan Carita Ratu Pakuan bila
ditarik benang merahnya setidaknya
harus mampu berperan sebagai :
a. Leader (adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan, dan satu
perbuatan dengan benar, menhgajarkan tentang kebenaran dengan pola
ketauladanan)
b. Manajer (memiliki kemampuan dalam
hal manajerialdan yang
mengajarkan tentang sesuatu yang baik, misal
aturan yang baik, perencanaan yang baik, dan lain-lain).
c.
Entertainer (ada kaitannya dengan masalah human relations. Seorang pemimpin harus dapat membina
hubungan baik dengan sesama manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun,
di samping dapat membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan
lingkungan sekitarnya)
d. Entrepreneur (memiliki jiwa kewirausahaan.
Seorang pemimpin memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta
keuletan yang tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak
tersisihkan)
e.
Commander (mampu memberi perintah sekaligus menjadi pendorong (maker)
atau pemberi motivasi bagi bawahannya, mampu memutuskan masalah dengan
cepat dan tepat, mampu menegur dan sebagai penanggung jawab utama dalam
organisasi).
f.
Designer (mampu berperan
sebagai perancang di berbagai bidang bagi kemajuan yang dipimpinnya)
g. Father (bertindak kebapakan, layaknya seorang ayah terhadap anak-anaknya dengan
penuh kasih)
h. Servicer (harus mampu menjadi pelayan yang baik, karena pada dasarnya seorang
pemimpin adalah seorang ‘pelayan’ yang
bertanggung jawab kepada masyarakatnya)
i.
Teacher (mampu menjadi guru, pendidik, dan pengajar yang baik
serta menjadi ‘tauladan’ bagi masyarakat/bawahannya).
Sehingga apabila ke-9
(sembilan) karakter tersebut sudah melekat sebagai sikap pada diri seorang
pemimpin, ia akan menjadi seorang “Tokoh”atau “Master” yang dicintai, dikagumi, disegani dan
melegenda, harum mewangi namanyadimata masyarakat, serta mampu mensejahterakan
masyarakatnya. Maka pemimpin/raja yang demikianlah yang berhak mendapat
gelar sebagai Master Leadership(bandingkan,
Charliyan, 2009). Pada zaman bihari(dahulu) sebagaimana terungkap dalam naskah-naskah buhunlewat fakta filologis, fakta
arkeologis, fakta sosial, maupunfakta mental dan fakta sastra, seorang figur pemimpin idealyang
namanyatetap melegenda dihati masyarakat maka digelari sebagai Prabu Silihwangi(raja yang harum namanya). Sebagai Master yang telah mumpuni, makanya
raja-raja besar diwaktu itu dibelakang namanya sering digelari :Maharaja, Raja Resi, Ratu haji dan
lain-lain.
2.3.8 Konsepsi Tata Tentrem
Kerta Raharja
Arti harafiah dari konsep Tata Tentrem Kerta
Raharja ini adalah sebuah konsep untuk membangun bangsa dan negara yang diawali
dengan :
a.
Menata dulu aturan-aturan,
tujuan, visi, misi yang jelas, situasi dan kondisi suatu wilayah termasuk
sumber dayanya (tata = mengatur).
b.
Bila sudah tertata sesuai
dengan aturan yang disepakati bersama dan dijiwai dengan semangat kebersamaan,
maka akan tercipta situasi dan kondisi yang aman (tentram = aman tertib).
c.
Kemudian bila sudah
tercipta suasana yang tata tentrem maka suasana dan gairah kerjapun akan
terbangun dengan sendirinya (kerta=kerja).
d.
Pada akhirnya apabila
gairah kerja sudah terbangun dengan maksimal, maka secara otomatis
kesejahteraan pun akan segera terwujud dengan pasti.
Konsepsi
Tata Tentrem Kerta Raharja ini bila kita telusuri lebih jauh berawal dari
konsep Prabu Wastu Kencanasebagai raja sunda-Galuh (1382) atau juga
dikenal sebagai Prabu Siliwangi ke-2, dalam prasastinya yang ditemukan di
Astana Gede kawali Ciamis-Jabar yang intinya berisi: “bila ingin jaya dalam bernegara, harus mampu membangun kekuatan dalam
kedamaian, membangun kekuatan dengan kerendahan hati dan siapapun yang tinggal
diwilayah ini jangan serakah karena hanya akan mengakibatkan celaka” (pakeun heubeul jaya dibuana, pake gawe
kreta bener, pake gawe kreta raharja, nutinggal dibumi atis ulah botoh bisi
koboro)
Pengertian
secara umum dari prasati Kawali tersebut menyiratkan bahwa prasyarat untuk
mencapai kejayaan itu, yang pertama-tama adalah harus mampu menciptakan kondisi
yang damai, karena dalam kedamaian itu akan tumbuh sebuah kekuatan, baik
kekuatan lahir maupun bathin. Makanya para orang tua kita dulu yang ingin
menyempurnakan hidupnya mencari tempat yang sepi, hening, dan damai untuk
bertapa. Para Nabi pun ketika mendapatkan wahyu sebagai Firman Tuhan didapat
didalam suasana yang hening dan damai, dan dalam situasi damailah kita akan
mampu membangun suasana kerja yang benar, membangun kebenaran yang sebenar-benarnya(kreta bener), maka selanjutnya akan
menjadi jembatan emas kearah terwujudnya masyarakat yang adil makmur kerta
raharja (kreta raharja),dimana
didalam fragmen carita parahyangan kerta raharja ini lebih dikenal dengan
istilah: Ngertakeun jalmarea(kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat) atau
Ngertakeunbumi
lamba(tanah air yang subur makmur) yang selanjutnya lebih dikenal
dengan konsep “Tata Tentrem Kerta Raharja”. Sebuah konsepsi ideal sesuai
Pancasila Sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau
juga dalam konsep Islam dikenal sebagai Negara yang Baldathun Thoyibatun Warabun Ghaffur.
Kemudian
apabila kita telaah arti dari membangun
kekuatan dengan kerendahan hati menyiratkan bahwa sebagai seorang pemimpin
yang mumpuni dalam menggerakkan masyarakatnya harus bersifat rendah hati tidak
mengedepankan arogansi, kesombongan, dan kekuasaanya, karena seseorang
dipercaya sebagai pemimpin pada hakekatnya merupakan sebuah amanah yang
diberikan oleh masyarakat/bawahan kepada kita sehingga apabila kita lupa diri
dan bersifat sombong dengan kekuasaan yang kita miliki maka akan hilang dan
musnah (ulah batengah bisi kateker) sebagaimana filosofi kampung Naga
atau juga sebagaimana tersurat dalam naskah Amanat Galunggung yang dikenal
sebagai ilmu Pare (ilmu padi) yang selengkapnya adalah sebagai berikut: Diri kita akan sempurna bila sudah
mengamalkan “Ilmu Padi” dimana pada saat bertunas sebesar jarum, keluar tiga
daun, saat disiangi, kemudian tumbuh dewasa, keluar kuncup seperti bulu hidung
mekar berbuah dan menunjuk kelangit “Kasep
Nangwa” gagah menengadah namanya, setelah tiba saatnya berisi mulai
merunduk, makin masak menguning ya makin merunduk karena merasa diri telah
berisi. Bila diri kita telah berbuat demikian, maka diharapkan kehidupan semua
orang bisa seperti perilaku padi, karena bila saatnya berisi tetap tengadah,
saat menguning tetap tengadah, saat masak pun tetap tengadah, itu adalah tandanya
“padi yang hapa”, padi yang kosong
dan hampa namanya.(Elmu Pare (AG Rekto V)) :
( Na twah
rampes dina urang agamaning pare, mangsana jumarum, telu daun, mangsana di
oywas, gede pare, mangsana bulu irung, beukah, tak karah nunjuk kalangit,
tanggah tak karah kasep nangwa tu iya ngaranya, umeusi tak karah lagu tungkul,
harayhay asak, tak karah can dukur, ngarasah maneh ka eusi, aya si nu hayang,
daek tu make hurip nu urang reya, agamaning pare pun, lamun umeusi tanggah,
harayhay tanggah, pare hapa ngarana).
hal
inipun sejalan dengan konsepsi agama Islam yang mengajarkan agar setiap manusia
bersikap “Tawadhu”sebagaimana
dikatakan dalam Hadist dan Al Quran “Dan rendah hatilah engkau terhadap
orang-orang yang mengikutimu....” (Al
Syu’ara 26:215), “wahai manusia jangan lah engkau sekali-kali berjalan
dimuka bumi ini dengan sombong (Al
Lukman 31:18/Al Israj 17:37), maka siapapun yang berjalan dimuka bumi
dengan sombong akan terputus dari
Rahmatku, dan barang siapa yang didalam hatinya terbesit rasa sombong walau sebesar debu, maka dia
tidak akan mencium bau surga”(HR.
Buchari Muslim ).Disamping itu jangan pula sekali-kali bersifat serakahyang hanya mementingkan kepentingan duniawi baik
dalam mencari kedudukan maupun dalam mencari rejeki karena barang siapa yang
serakah maka dia akan celaka (ulah botoh bisi kokoro),
sebagaimana dikatakan juga dalam surat Ali Imron 3:185 “Kehidupan dunia ini
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.Sebagai penutup kita akan
kita kutip prasasti Tembaga dari Bekasi (417 M) yang cukup berkaitan dengan
pembahasan di atas yaitu :
-
Orang nista itu ialah orang yang serakah (wong papa ma
nu bobotoh)
-
Orang yang berdosa ialah orang yang tidak beriman
(Wong kalesa ma na dosa)
-
Bersama-sama wajib bekerja keras (Simanareng ma
calagra)
-
Berbagi jangan sampai ada yang kurang (Simanareka ma
na ka urang) sehingga semua sejahtera.
2.4 Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal Budaya Jawa
Kepemimpinan berbasis kearifan budaya Jawa mungkin dapat
diwakili oleh panglima perang ternama Gajah
Mada, sebagaimana diungkapkan Purwadi (2007: 205), yang meliputi:
Abikamika: pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi kebawah
dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau
golongan.
Prajna : pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama,
juga dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya.
Usaha : Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan
inovatif (pelopor pembaharuan) serta
rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat.
Atma Sampad : pemimpin mempunyai kepribadian: berintegritas
tinggi, moral yang luhur serta objektif dan memiliki wawasan yang jauh ke masa
depan demi kemajuan bangsanya.
Sakya
Samanta :pemimpin sebagai fungsi
kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif, efisien, dan ekonomis) serta berani
menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih dan tegas.
Aksudra
Pari Sakta :Pemimpin
harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan serta pandai
berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan serta rakyatnya.
Agar lebih
luas pandangan kita
berkaitan dengan soal kepemimpinan, dalam tulisan ini pun
disertakan prinsip catur darmaning
nerpati yang merupakan empat sifat utama bagi seorang pemimpin sebagaimana
dikemukakan Gajah Mada sebagai panglima militer (Purwadi, 2007: 206), yakni:
a. Jana Wisesa
Suda, yakni seorang panglima/pemimpin
hendaknya menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik teknologi, kemiliteran
maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara teori maupun praktek.
b. Kaprahitaning
Praja, seorang panglima/pemimpin
harus mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha mengadakan
perbaikan kondisi.
c. Kawiryan,seorang panglima/pemimpin harus memiliki keberanian
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani karena benar dan
takut karena salah.
d. Kawibawaan, seorang panglima/pemimpin harus memiliki kewibawaan terhadap bawahan/rakyat,
sehingga setiap perintahnya dapat
dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi dengan baik.
Gajah Mada yang
dikenal dengan “Sumpah Palapanya” sebagai tekad pribadi yang sangat kuat dari
seorang panglima militer Majapahit. Bila
kita lihat dari Teori “Kepemimpinan Transaksional” sebagaimana
dikatakan oleh Downtown (1973) yang menitik beratkan pada kekuatan cita-cita
pribadi pemimpin (Sumpah Palapa) yang
kemudian mampu memotivasi para pengikutnya untuk bersama-sama mewujudkan
cita-citanya. Hal ini tercermin dari konsep kepemimpinan tersebut antara lain:
a.
Usaha : Sebagai sikap kerja keras yang proaktif dan
tak
kenal
lelah.
b.
Satya
Sumanta : Sebagai sikap kontrol pengawasan yang ketat
dan
tegas
c.
Sawirian : Sebagai sikap tekad dan keberanian yang kuat.
d.
Kawibawaan : Harus punya pengaruh yang kuat/Kharismatik
Kemudian
karena keyakinan akan cita-citanya yang kuat dan benar tersebut akhirnya para
pengikutnya pun menjadi sadar dan termotivasi bahwa cita-cita Gajah Mada sesungguhnya
merupakan cita-cita mulia yang harus menjadi cita-cita bersama sebagaimana
dikatakan dalam teori kepemimpinan “Transformasional”
oleh Burns (1978) yang justru menitik beratkan pada tingginya motivasi
para pengikut organisasi atas dasar kesadaran sendiri yang ingin segera
mewujudkan cita-cita organisasi/negara yang berawal dari cita-cita pribadi
pemimpinya, sehingga kepemimpinan Gajah Mada dikategorikan sebagai
kepemimpinan “Transformasional
Transaksional”.
(Buku Visi Baru Manajemen Sekolah, Prof. Dr.
Sudarmandanin, 223-2006)
2.5 Karakteristik kepemimpinan Nasional
Kepemimpinan Nasional adalah elit suatu bangsa yang
secara struktural menduduki segenap strata kehidupan nasional, bidang,
sektor/profesi, pimpinan formal dan pimpinan informal yang memiliki kemampuan
dan kewenangan untuk menggerakkan bangsa dalam rangka pencapaian tujuan
nasional.
Esensi kepemimpinan bagi pemimpin tinkat nasional
adalah adanya suatu komitmen yang kuat dalam rangka mencapai tujuan nasional
sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yakni adalah adanya
kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan perilaku dan kepentingan pribadi
dengan kebutuhan prioritas yang mampu mengedepankan kepentingan negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan, komitmen yang kuat tidak hanya sekedar
sebagai pemimpin yang biasa, tapi dibutuhkan seorang pemimpin Negarawan yang
mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan a great man antara lain
sebagai berikut: a) bijak, b) rela berkorban, c) Jujur, d) Ulet, e) pantang
menyerah, f) mempunyai integritas dan lain-lain.
Kepemimpinan yang berkualitas menjadi harapan setiap
organisasi, tidak hanya kualitas yang bersifat fisik atau intelektual semata,
tetapi juga kualitas moral (rohani), emosi, spirit, sosial, personal, keuletan
dan keunggulan karena akumulasi dari
kedelapan aspek tersebut akan memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap
kualitas kepemimpinan sebagaimana halnya di Indonesia, kualitas kepemimpinan
tersebut harus sesuai dengan Indonesian National Leadership Index (INLI), yaitu
a) moralitas dan akuntabiitas yang besifat individual, b) Moralitas dan
akuntabilitas yang bersifat kemasyaraktan, c) moralitas dan akuntabilitas yang
bersifat institusional, d) moralitas dan akuntabilitas yang bersifat global.
Kemudian untuk mencari model karakteristik model kepemimpinan Indonesia yang
bagaimanakah yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang mampu
menjawab tantangan jaman dari masa ke masa?....... jika demikian maka
kepemimpinan nasional yang paling cocok adalah yang berdasarkan 4 konsensus
dasar nilai-nilai luhur bangsa yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Yang sudah disaripatikan menjadi nilai-nilai:
1) Nilai
ketaqwaan kepada Tuhan YME
2) Nilai
Kemanusiaan
3) Nilai
Keadilan
4) Nilai
Persatuan
5) Nilai
Sosial
6) Nilai
Demokratis
7) Nilai
Multikultural
8) Nilai
Patriotisme
Sehingga nilai-nilai inilah yang harus
menjadi dasar dan pedoman dalam kepemimpinan nasional Indonesia diseluruh
tingkatan dari pusat sampai ke daerah baik formal, non formal maupun informal.
Maka dari itu nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan yang bisa dilaksanakan
dalam rangka membangun karakteristik kepemimpinan nasional harus sesuai dengan
8 (delapan) nilai inti dari 4 (empat) konsensus dasar nasional. Dimana sikap
dan karakter seorang pemimpin dalam situasi dan kondisi yang sangat kompleks,
dituntut untuk tetap tenang dan bijak tidak sekedar hanya reaktif tapi juga
antisipatif dan proaktif.
2.6 Reaktualisaisi kepemimpinan berbasis kearifan
lokal
Apabila kita kaji lebih jauh sampai
saat ini bangsa Indonesia belum mempunyai konsep yang jelas dan tegas yang
mampu dijadikan acuan dalam melaksanakan
nilai-nilai kearifan lokal oleh seluruh
masyarakat dan bangsa, apalagi bangsa Indonesia dengan sifat kemajemukanya yang
terdiri lebih dari..... suku bangsa sehingga akan sangat rentan bila tidak
punya pedoman tentang karakter kepemimpinan nasional. Sehingga dengan demikian
harus segera dirumuskan konsep kepemimpinan nasional yang berbasis kearifan
lokal mulai dari : definisi, azas, filosofi, jenis, sistem, tipe, karakter
nilai, kompetensi, syarat-syarat sampai dengan pantangan-pantangan yang harus
dijauhi. Untuk itu dibawah ini kami sajikan konsepsi-konspesi tersebut:
Pengertian kepemmpinan :
Parigeuing (mengingatkan) atau eling, jadi seorang pemimpin harus senantiasa
eling mengingatkan bawahanya kearah jalan yang benar (Wattawa saubilhaq wattawa
saubil sobr) dengan mengedepankan keteladanan sehingga yang dipimpin tidak
sadar dibawa kearah tujuan bersama.
1.
Azas
kepemimpinan :
a. Asih, asah, asuh,
b. Ing madya mangun karso, ing ngarso sung
tulodo, Tutwuri Handayani
c. Sipaka Inga, sipaka tau, sipaka lebih
2.
Filosofi
Kepemimpinan :
a. Pakeun
heubeul jaya dibuana pake gawe kerta bener, pake gawe kerta rahayu
b. Tata
tentrem kerta raharja
c. Hana
nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke
d. Elmu
pare
3.
Prinsip-prinsip
Kepemimpinan :
a. Ulah
botoh bisi kokoro
b. Ulah
batengah bisi kateker
c. Wayah
wilayah lampah
d. Galih,
galeuh, galuh
e. Leader
by action but not leader by position
f. ..................
4.
Syarat-syarat
Kepemimpinan :
a. Cageur : Phisical ability AQ
b. Bageur : Emotional ability EQ
c. Bener : Spritual ability SQ
d. Pinter : Intelectual Ability IQ
e. Wanter : Sosial ability ScQ
f. Singer :
Personal Ability PQ
g. Teger : Resiliance ability RQ
h. Nanjeur : Exelent ability ExQ
5.
Sifat-sifat
Kepemimpinan :
a. Seabgai
leader
b. Sebagai
manajer
c. Sebagai
komander
d. Sebagai
teacher
e. Sebagai
father
f. Sebagai
entertainer
g. Sebagai
enterpreuter
h. Seabagi
desaigner
i. Sebgai
servicer
6.
Tipe
Kepemimpinan :
a. Nasional
b. Visioner
c. Negarawan
d. Sebagai
abdi
e. Sebagai
prabu
f. Sebagai
palangka
7.
Jenis
Kepempinan :
a. Dasa
prasanta (10 Penenang Hati)
b. Catur
Gya (empat hal terpuji)
c. Pangimbuhan
Twah (Pemimpin yang kharismatik
d. Asta
guna (8 kerarifan)
e. Dasa
kreta (10 Pantangan)
f. Pada
Mulya (Pemimipn yang mulya)
8.
Sistem
Kepemimpinan
a. Tri
tangtu dibuana ; Prabu, Rama, Resi
9.
Standar
pengukuran kepemimpinan
a. Standar
moral d. Standar
Intelektual
b. Standar
mental e. Standar ......
c. Standar
fisik
A.
Nilai-nilai
Karakter Kepemimpinan berdasarkan Pancasila:
1. Taqwa 14.
Suka berbagi
2. Setia
15.
Gotong royong
3. Rendah
hati 16.
Tidak individualis
4. Manusiawi
/ menjunjung HAM 17. Amanah
5. Adil 18.
Bermusyawarah
6. Etis,
santun dan beradab 19.
Amanah
7. Menghargai
perbedaan 20.
Demokratis
8. Mengutamakan
kebersamaan 21. peduli
9. Memperjuangkan
hak orang banyak 22. Jujur
10. Menerima
pendapat orang lain 23.
Terbuka/transparan
11. Bijak 24.
Tanggung jawab
12. Bekerjasama 25.
Melayani
13. Welas
asih
Nilai-nilai kebangsaan
berdasarkan 4 konsensus dasar Nasional :
1) Nilai
ketaqwaan kepada Tuhan YME
2) Nilai
Kemanusiaan
3) Nilai
Keadilan
4) Nilai
Persatuan
5) Nilai
Sosial
6) Nilai
Demokratis
7) Nilai
Multikultural
8) Nilai
Patriotisme
B.
Kompetensi
1. Cekatan = Cangcingan
2. Terampil = Langsitan
3. Tulus
hati = Paka
4. Rajin = Rajeun
5. Tekun/ulet = Leukeun
6. Sabar
Tawaqal = Mwa Surahan
7. Tangkas = Prenya
8. Semangat/Pantang
menyerah = Merogol-rogol
9. Tanggung
jawab, berani, satria = Purusa
10. Cermat
= Emet
11. Teliti = Imeut
12. Penuh
keutamaan/profesional, = Parakadana
Proporsional, perfeksionis
C.
Pantangan-pantangan
dalam Kepemimpinan
1. Obat Paharaman
a) Mudah
Tersinggung = Mulah Babarian
b) Mudah
Merajuk = Mulah pundungan
c) Berkeluh
Kesah = Mulah Humandeuar
d) Menggerutu = Mulah Kukulutus
2. Sikap Pimpinan Sebagai Abdi (SSK VI)
a) Jangan
Mengeluh = Mulah Luhya
b) Jangan
Kecewa = Mulah Kuciwa
c) Jangan
Sulit Diperintah = Mulah Ngontong Dipiwarang
d) Jangan
iri = Mulah Hiri
e) Jangan
Dengki = Mulah Dengki
3. Ilmu Wujud Air Sungai (Patanjala) - AG
Verso VI
a) Jangan
Mudah Terpengaruh
b) Jangan
Peduli terhadap Godaan
c) Jangan
Dengarkan Ucapan yang Buruk
d) Pusatkan
pada cita-cita/ Tujuan
4. Empat larangan Dalam Cara Berbicara (AG
Verso III)
a) Jangan
Berteriak = Mulah Kwanta
b) Jangan
Menyindir = Mulah Majar Laksana
c) Jangan
Menjelekkan = Mulah Mudahkeun Pada Janma
d) Jangan
Berbohong = Mulah Sabda Ngapus
3. Kesimpulan
Nilai-nilai Kearifan lokal yang dilaksanakan dalam
rangka membangun kepemimpinan nasional harus sesuai dengan 4 (empat) konsensus
dasar nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yakni Nilai ketaqwaan kepada Tuhan YME,
Nilai Kemanusiaan, Nilai Keadilan, Nilai Persatuan, Nilai Sosial, Nilai
Demokratis, Nilai multikulturalis, Nilai Patriotisme
Masalah kepemimpinan, berkaitan erat dengan unsur silih asih, silih asah, dan
silih asuh, yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Silih asih,
silih asah, dan silih asuh, selayaknya dijawantahkan oleh seorang pemimpin sebagai master dalam kepemimpinannya sebagaimana yang
dilakukan oleh raja Sunda yang bergelar “Prabu Siliwangi”, raja yang legendaris, dicintai serta dicintai
masyarakatnya, karena mereka telah berhasil memerdayakan serta mensejahterakan rakyatnya.
Sikap dan perilaku orang Sunda yang
tentu saja harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana terungkap dalam
naskah Sunda buhun, adalah cageur, bageur, pinter, bener, singer, teger, wanter, dan tajeur.
Pola kepemimpinanyang terungkap dalam
Naskah Sunda Buhun abad XVI Masehi, berkelindan erat dengan ‘Pemimpin
sebagai master’, yakni pemimpin yang sudah ngarajaresi/legendaris’yang
mampu berperan sebagaileader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, servicer,
teacher, serta father, yang menurut SSKK adalah pemimpin yang dalam
kepemimpinannya memiliki sifat Dasa
prasanta,yaitu
sepuluh penenang atau cara
memberi perintah yang baik agar yang
diperintah atau bawahan merasa
senang serta pemimpin yang dalam pribadinya sudah melekat
karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhning twah atau
pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Di samping
itu, pemimpin sebagai tokoh/masteryang
melegenda, adalah pemimpin yang menjauhi empat karakter yang negatif agar
kepemimpinannya berkharisma, yang dikenal dengan sebutan“opat
paharaman” atau empat hal yang
diharamkan. Pemimpin sebagai ‘master’ pun, harus menjauhi watak manusia yang
membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur Buta.
Berdasar
naskah Sanghyang Hayu, seorang pemimpin legendaris, adalah pemimpin yang
menjiwai ‘tiga rahasia’ yang terdiri dari
lima bagian, yakni lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri seorang
pemimpin. Figur seorang pemimpin legendaris harus berpegang teguh kepada
prinsip astaguna ‘delapan kearifan’, sehingga kepemimpinannya berjalan
selaras, baik, dan harmonis.
Perlu dirumuskannya konsep dasar
tentang kepemimpinan nasional berbasis kearifan lokal mulai dari definisi,
azas, filosofi, jenis, sistem, tipe, karakter nilai, kompetensi, syarat-syarat
sampai dengan pantangan-pantangan yang harus dijauhi.
DAFTAR
PUSTAKA
Atja & Saleh Danasasmita.
1981. Sanghyang Siksakanda ng
Karesian (Naskah Sunda Kuno. Bandung:
Proyek Pengembangan
Permuseumam Jawa Barat.
Charliyan, Anton&
Elis Suryani NS.2009. Parigeuing
Kepemimpinan Ala Sunda. Garut: Polwil Priangan.
Charliyan, Anton. 2012. Master Leadership. Jakarta: Solusi Publishing.
Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang
Karesian, Amanat Galunggung. Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian
Proyek Sundanologi
Darsa, Undang A.
1998.Sanghyang Hayu. Naskah Jawa Kuno di
Sunda. Bandung: Program Pascasarjana Unpad (Tesis)
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-raja Jawa. Sejarah Kehidupan
Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogyakarta: Media Abadi.
Sujamto. 2000. Sabda Pandhita Ratu. Semarang: Dahara
Prize.
Suryalaga, Hidayat
RH. 2009. Kasundaan
Rawayan Jati. Bandung: Yayasan Nur Hidayat
Suryani NS, Elis. 2008. Merumat Warisan Karuhun Orang Sunda yang
Terpendam dalam Naskah dan Prasasti. Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya.
Suryani NS, Elis
& Anton Charliyan.. 2010. Menguak
Tabir Kampung Naga. Bandung: CV Dananjaya.
Suryani NS, Elis.
2010. Kearifan Budaya Sunda. Tasikmalaya: Dinas Pariwisata
Budaya Kota Tasikmalaya & Kabupaten Ciamis
Suryani NS, Elis.
2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Suryani NS, Elis. 2012.Filologi.Bogor:
Ghalia Indonesia.
Suryani NS, Elis.
2012. “Saciduh Metu Saucap
Nyata”. Opini Pikiran Rakyat. Rabu, 28 November 2012.
Suryani NS,
Elis.2012. Konsep Pemimpin dan
Kepemimpinan yang terungkap dalam Naskah Buhun.Yogyakarta: Simposium
Internasional Pernaskahan Nusantara.
Suryani NS, Elis.
2012. Kamus Seni Budaya Sunda
Buhun. Garut: Pasulukan Loka
Gandasasmita.
Suryani NS, Elis.
2012. Mantra dalam Tradisi Naskah
Lama: Antara Konvensi dan Inovasi. (Disertasi). Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Suryani, NS.,
Elis. 2013. “Delapan Karakter Pemimpinan
Sunda”. Bandung: Artikel Pikiran Rakyat, 28 Pebruari 2013.
Suryani NS, Elis. 2013. “Kujang dalam Perspektif Filologis”. Bandung: Tim Ahli Pengusung
Kujang untuk Unesco. Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat.
Suryani NS, Elis. 2013. “Menggali Kesejarahan yang Terkuak dalam Naskah Kuno”. (Makalah) Bandung:
Dinas Pariwisata dan Budaya Provinsi Jawa Barat, Hotel Savoy Homann, 26-27
Maret 2013.
Suryani NS, Elis. 2013. “Parigeuing Ala Sunda”. (Makalah). Bandung: Forum Peduli Budaya
Sunda Tasikmalaya, 30 Maret 2013, Pendopo Tasikmalaya.
Thoha,
Miftah. 2009. Kepemimpinan Dalam
Manajemen.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
R. Covey. “8 Habbits”.
Jakarta, Gramedia, 2010
Renald KH. “Recode
cing DNA”, Jakarta, Gramedia, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar