KEPEMIMPINAN
NASIONAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL SUNDA
Ditengah era globalisasi dewasa ini, melirik sejarah dan kearifan lokal budaya
masa lampau merupakan sikap yang cukup bijaksana. Mengapa? Ternyata, tanpa kita
sadari, banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun (warisan leluhur) yng bisa
digali dan diungkap dimasa kini.
Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat dipandang sebagai
dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran,
perasaan, dan pengetahuan sejarah serta budaya dari suatu bangsa atau kelompok
sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai sumber informasi, dapat dipastikan
bahwa naskah-naskah buhun (kuno)
termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial
budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, tertulis pada kertas, daun
lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan, dll.
Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau
yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama tentang keadaan
sosial dan budaya, yang meliputi: sistem religi/keagamaan, teknologi dan
benda materiil, mata pencaharian hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan,
bahasa, dan seni (Koentjaraningrat, 187; Suryani NS., 2010: 48).
Seberapa penting sebuah ‘naskah kuno’ bagi peradaban dan perkembangan budaya
dan kehidupan masyarakat masa kini? Naskah sebagai dokumen budaya sudah tidak
dikenal lagi. Meskipun sebenarnya masih menarik untuk digali, ungkap, dan
bahkan dapat dijadikan sekadar tuntunan moral dalam kehidupan saat ini dan yang
akan datang.
Penggalian teks naskah-naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makassar, Batak, dan
lain-lain dapat membantu mengungkap kearifan lokal budaya bangsa dimasa silam
yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”. Dengan mengacu
pada kearifan bangsa sendiri pasti akan lebih membumi, sebab sudah menjadi
filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji ratusan dan bahkan
ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter masyarakat itu
sendiri, di mana saat ini cenderung -- untuk tidak mengatakan terlalu sering --
berorientasi pada konsep kepemimpinan model Eropa/Barat yang belum tentu sesuai
dengan budaya bangsa.
Tetapi, bukan berarti kemudian anti dengang konsep Barat. Konsep yang baik dari
Barat tetap bisa digunakan sebagai referensi, namun tidak abai terhadap
kearifan lokal dengan mengutamakan dan melakukan penggalian konsep-konsep
kearifan lokal yang sudah teruji. Adapun konsep Barat bisa berperan sebagai
pendukung dari konsep kearifan lokal sehingga konsep-konsep, ilmu, dan filosofi
lokal bisa menjadi Tuan di rumah sendiri.
Untuk itu, selayaknya kita mau bercermin terhadap kebudayaan bangsa sendiri.
Mencerna kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek
moyang. Khususnya yang tercermin dalam naskah
dan berhubungan dengan masalah kepemimpinan.
Sejatinya, bangsa ini kaya dengan kearifan lokal rupa-rupa kepemimpinan.
Kearifan lokal kepemimpinan itu, diantaranya dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang dalam
naskah Sunda buhun abad 16 (1518 M),
berkenaan tuntunan moral atau pedoman bagi pemimpin dalam melaksanakan tugas
dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai, baik oleh rakyat maupun
bawahan. Di dalamnya berkaitan erat dengan segala aspek kehidupan antara
pemimpin dengan yang dipimpinnya serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat
kini.
Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda Abad ke-16 sebagaimana
disebutkan dalam naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK), Fragmen
Carita Parahiyangan (FCP), Amanat
Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH).
Naskah-naskah tersebut berupa daun lontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno) yang bisa jadi kurang
dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian masyarakat dimasa kini.
Seorang pemimpin menurut naskah SSK, harus menjiwai konsep ‘tiga rahasia’
sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau lebih dikenal
dengan konsep Tri Tangtu Dibuana yang
dikemas dalam konsep ‘trigeuing’
(tiga peringatan) yakni: sebagai Prabu,
Hulun, Palanka (Pemimpin, Abdi, Negara) atau lebih spesifik parigeiung, geuing, upageuing (Pemimpin,
Sandang, Papan). Ada pun yang tertulis dalam naskah SH, ketiga rahasia tersebut
dibagi menjadi lima bagian sehingga jumlahnya menjadi lima belas karakter yang
harus mendarah daging dalam diri pemimpin, yaitu:
1. Budi (bijak)-Guna (arif)-Pradana
(saleh/utama/mulya)
2. Kaya (sehat)-Wak (bersabda)-Cita (hati)
3. Pratiwi (membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)
4. Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga (pendengaran)
5. Bayu (ucapan/angin)-Sabda (itikad/perbuatan)-Hedap (kalbu/pikiran).
Disamping
itu, seorang pemimpin dalam naskah ini juga harus berpegang teguah kepada
prinsip astaguna (delapan kearifan),
yaitu: Animan (lemah lembut, santun);
Ahiman (tegas); Mahiman (cerdas, berwawasan luas); Lagiman (terampil, cekatan); Prapti
(tepat sasaran); Prakamya (ulet
dan tekun);Isitwa (jujur,benar); dan Wasitwa (terbuka).
Salah
satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, ebelum seseorang menjadi
pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (satya dikahulanan), yakni harus
mempunyai sifat-sifat tidak pernah mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit
diperintah, tidak pernah iri dengki, tidak pernah goyah kesetiaannya, tidak
pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong dipiwarang, Mulah nyetnyot
tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu sebagai seorang
Abdi juga harus memiliki kepribadian opat
larangan (empat larangan), tidak mudah tersinggung, merajuk, menggerutu,
menyerah (mulah babarian, mulah
pundungan, mulah kukulutus, mulah humandeouar).
Pemimpin
yang legendaris atau namanya harum mewangi menurut SSK adalah pemimpin yang
memiliki sifat Dasa Prasanta, yaitu
sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu menenangkan hati.
Berdasarkan SSK, seorang pemimpin digelar sebagai tokoh, jika pribadinya sudah
melekat karakter kepepmimpinan yang disebut Pangimbuhing
Twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Seorang
pemimpin yang baik harus memiliki sikap positif, mampu berpantang/menjauhi
kesalahan-kesalahan yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga akan
mampu mewujudkan pemimpin sebagai ‘Master’
yang melegenda. Maka harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di
dunia yang disebut Catur Buta, Burangkak (kasar), Marimis (menjijikan), Marende
(sadis), dan Wirang (licik).
Konsep
kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, AG setidaknya harus mampu berperan
sebagai leader, manajer, entertainer,
entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan teacher. Kesembilan kriteria tersebut
selayaknya bisa diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang
pemimpin dan kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal. Sehingga apabila seseorang
telah memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan menjelma sebagai Master Leadership atau ‘tokoh’ yang
legendaris, yang harum mewangi namanya sebagaimana gelar raja-raja di
Sunda-Galuh dan Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi” yakni
seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya, serta mampu
memberdayakan dan menyesjahterakan orang banyak, masyarakat yang (ngertaken jalma rea) Tata Tentrem Kerta
Raharja.
Assalamualaikum
BalasHapusakang, neda elmuna...izin share...
insya Allah mangpaat dunya akherat...
hatur nuhun
wassalam
Assalamualaikum
BalasHapusakang, neda elmuna...izin share...
insya Allah mangpaat dunya akherat...
hatur nuhun
wassalam