Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL SUNDA



KEPEMIMPINAN NASIONAL BERBASIS KEARIFAN LOKAL SUNDA

          Ditengah era globalisasi dewasa ini, melirik sejarah dan kearifan lokal budaya masa lampau merupakan sikap yang cukup bijaksana. Mengapa? Ternyata, tanpa kita sadari, banyak manfaat serta informasi budaya hasil kreativitas dan warisan karuhun (warisan leluhur) yng bisa digali dan diungkap dimasa kini.
          Salah satu sumber informasi budaya masa lampau yang sangat penting adalah naskah, yang dapat dipandang sebagai dokumen budaya, karena berisi berbagai data dan informasi ide, pikiran, perasaan, dan pengetahuan sejarah serta budaya dari suatu bangsa atau kelompok sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai sumber informasi, dapat dipastikan bahwa naskah-naskah buhun (kuno) termasuk salah satu unsur budaya yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang melahirkan dan mendukungnya, tertulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, bilahan bambu, atau rotan, dll.
          Naskah-naskah tersebut secara umum isinya mengungkapkan peristiwa masa lampau yang menyiratkan aspek kehidupan masyarakat, terutama tentang keadaan sosial  dan budaya, yang meliputi: sistem religi/keagamaan, teknologi dan benda materiil, mata pencaharian hidup/ekonomi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan/pendidikan, bahasa, dan seni (Koentjaraningrat, 187; Suryani NS., 2010: 48).
          Seberapa penting sebuah ‘naskah kuno’ bagi peradaban dan perkembangan budaya dan kehidupan masyarakat masa kini? Naskah sebagai dokumen budaya sudah tidak dikenal lagi. Meskipun sebenarnya masih menarik untuk digali, ungkap, dan bahkan dapat dijadikan sekadar tuntunan moral dalam kehidupan saat ini dan yang akan datang.
          Penggalian teks naskah-naskah baik Sunda, Jawa, Bugis, Makassar, Batak, dan lain-lain dapat membantu mengungkap kearifan lokal budaya bangsa dimasa silam yang berkaitan dengan masalah “konsep dan pola kepemimpinan”. Dengan mengacu pada kearifan bangsa sendiri pasti akan lebih membumi, sebab sudah menjadi filosofi, tradisi, dan budaya yang mengakar dan teruji ratusan dan bahkan ribuan tahun sesuai dengan geografis, situasi dan karakter masyarakat itu sendiri, di mana saat ini cenderung -- untuk tidak mengatakan terlalu sering -- berorientasi pada konsep kepemimpinan model Eropa/Barat yang belum tentu sesuai dengan budaya bangsa.
          Tetapi, bukan berarti kemudian anti dengang konsep Barat. Konsep yang baik dari Barat tetap bisa digunakan sebagai referensi, namun tidak abai terhadap kearifan lokal dengan mengutamakan dan melakukan penggalian konsep-konsep kearifan lokal yang sudah teruji. Adapun konsep Barat bisa berperan sebagai pendukung dari konsep kearifan lokal sehingga konsep-konsep, ilmu, dan filosofi lokal bisa menjadi Tuan di rumah sendiri.
          Untuk itu, selayaknya kita mau bercermin terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Mencerna kearifan lokal yang terpendam dalam khazanah budaya peninggalan nenek moyang. Khususnya yang tercermin dalam naskah dan berhubungan dengan masalah kepemimpinan.
          Sejatinya, bangsa ini kaya dengan kearifan lokal rupa-rupa kepemimpinan.  Kearifan lokal kepemimpinan itu, diantaranya dikenal dengan istilah “parigeuing” (mengingatkan, menyadarkan, eling), sebagaimana tertuang dalam naskah Sunda buhun abad 16 (1518 M), berkenaan tuntunan moral atau pedoman bagi pemimpin dalam melaksanakan tugas dan kepemimpinannya agar berhasil dan dicintai, baik oleh rakyat maupun bawahan. Di dalamnya berkaitan erat dengan segala aspek kehidupan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya serta aspek ‘real’ yang terjadi di masyarakat kini.
          Masalah kepemimpinan terungkap dalam naskah Sunda Abad ke-16 sebagaimana disebutkan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK), Fragmen Carita Parahiyangan (FCP), Amanat Galunggung (AG), dan Sanghyang Hayu (SH). Naskah-naskah tersebut berupa daun lontar, beraksara serta berbahasa Sunda buhun (kuno) yang bisa jadi kurang dikenali dan dipahami lagi oleh sebagian masyarakat dimasa kini.
          Seorang pemimpin menurut naskah SSK, harus menjiwai konsep ‘tiga rahasia’ sebagai peneguh alam buana agar berhasil mencapai kejayaan atau lebih dikenal dengan konsep Tri Tangtu Dibuana yang dikemas dalam konsep ‘trigeuing’ (tiga peringatan) yakni: sebagai Prabu, Hulun, Palanka (Pemimpin, Abdi, Negara) atau lebih spesifik parigeiung, geuing, upageuing (Pemimpin, Sandang, Papan). Ada pun yang tertulis dalam naskah SH, ketiga rahasia tersebut dibagi menjadi lima bagian sehingga jumlahnya menjadi lima belas karakter yang harus mendarah daging dalam diri pemimpin, yaitu:
1.     Budi (bijak)-Guna (arif)-Pradana (saleh/utama/mulya)
2.     Kaya (sehat)-Wak (bersabda)-Cita (hati)
3.     Pratiwi (membumi)-Akasa (angkasa)-Antara (madya)
4.     Mata (penglihatan)-Tutuk (ucapan)-Talinga (pendengaran)
5.     Bayu (ucapan/angin)-Sabda (itikad/perbuatan)-Hedap (kalbu/pikiran).
Disamping itu, seorang pemimpin dalam naskah ini juga harus berpegang teguah kepada prinsip astaguna (delapan kearifan), yaitu: Animan (lemah lembut, santun); Ahiman (tegas); Mahiman (cerdas, berwawasan luas); Lagiman (terampil, cekatan); Prapti (tepat sasaran); Prakamya (ulet dan tekun);Isitwa (jujur,benar); dan Wasitwa (terbuka).
Salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin yang sempurna, ebelum seseorang menjadi pimpinan ia harus bisa menjadi seorang abdi yang setia dulu (satya dikahulanan), yakni harus mempunyai sifat-sifat tidak pernah mengeluh, tidak mudah kecewa, tidak sulit diperintah, tidak pernah iri dengki, tidak pernah goyah kesetiaannya, tidak pernah melanggar pantangan, tidak mencelakakan sesama (Mulah luhya, Mulah kuciwa, Mulah ngontong dipiwarang, Mulah nyetnyot tineung urang, deungdeungeun sakahulunan). Disamping itu sebagai seorang Abdi juga harus memiliki kepribadian opat larangan (empat larangan), tidak mudah tersinggung, merajuk, menggerutu, menyerah (mulah babarian, mulah pundungan, mulah kukulutus, mulah humandeouar).
Pemimpin yang legendaris atau namanya harum mewangi menurut SSK adalah pemimpin yang memiliki sifat Dasa Prasanta, yaitu sepuluh cara memberi perintah yang baik yang mampu menenangkan hati. Berdasarkan SSK, seorang pemimpin digelar sebagai tokoh, jika pribadinya sudah melekat karakter kepepmimpinan yang disebut Pangimbuhing Twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Seorang pemimpin yang baik harus memiliki sikap positif, mampu berpantang/menjauhi kesalahan-kesalahan yang negatif agar kepemimpinannya berkharisma sehingga akan mampu mewujudkan pemimpin sebagai ‘Master’ yang melegenda. Maka harus menjauhi watak manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur Buta, Burangkak (kasar), Marimis (menjijikan), Marende (sadis), dan Wirang (licik).
Konsep kepemimpinan Sunda menurut SSK, FCP, SH, AG setidaknya harus mampu berperan sebagai leader, manajer, entertainer, entrepreneur, commander, designer, father, servicer, dan teacher. Kesembilan kriteria tersebut selayaknya bisa diejawantahkan dan dicerminkan dalam diri dan sikap seorang pemimpin dan kepemimpinannya, menuju pemimpin ideal. Sehingga apabila seseorang telah memiliki kesembilan kriteria tersebut maka ia akan menjelma sebagai Master Leadership atau ‘tokoh’ yang legendaris, yang harum mewangi namanya sebagaimana gelar raja-raja di Sunda-Galuh dan Pajajaran yang lebih dikenal sebagai “Prabu Siliwangi” yakni seorang raja yang dicintai, dikagumi, dan disegani masyarakatnya, serta mampu memberdayakan dan menyesjahterakan orang banyak, masyarakat yang (ngertaken jalma rea) Tata Tentrem Kerta Raharja.

2 komentar:

  1. Assalamualaikum
    akang, neda elmuna...izin share...
    insya Allah mangpaat dunya akherat...
    hatur nuhun
    wassalam

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum
    akang, neda elmuna...izin share...
    insya Allah mangpaat dunya akherat...
    hatur nuhun
    wassalam

    BalasHapus