KEPEMIMPINAN DASA PRASANTA
(10 CARA
KEPEMIMPINAN YANG MENENANGKAN)
Konsep kepemimpinan ala
Sunda ternyata telah pernah dipraktekkan sejak ratusan tahun silam.
Sehingga, tidak salah apabila bangsa Indonesia menggali kembali ajaran leluhur
yang telah mengakar panjang tersebut. Sudah pasti bahwa khasanah pemikiran
tentang leadership dari para tokoh tersebut telah melalui proses pemikiran
cukup panjang.Salah satu konsep itu adalah Sanghyang Siska Kandang Karesian (SSKK). Yakni sebuah konsep kepemimpinan yang berasal dari Tatar Kerajaan Sunda berdasarkan prasasti Cibadak Sukabumi yang bernomor D-98, yang menyangkut seruan dan sumpah Sri Jayabupati raja Sunda, dan piagam Kebantenan nomor III/IV yang berisi tentang penetapan batas Dayeuh Jayagiri dan Dayeuh Sunda Sembawa.
Konsep
SSKK mengungkap tuntunan moral berkaitan dengan keahlian, pekerjaan atau
jabatan, terutama perilaku yang harus diketahui dan dilakukan oleh seorang
‘pemimpin’, yang disebut dengan istilah Dasa prasanta, sepuluh penenang (cara memberi perintah yang baik
agar yang diperintah atau bawahan merasa senang). Dasa Prasanta berkaitan erat
dengan sikap pemimpin yang harus mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam
mengelola orang yang dipimpinnya. Dengan kemampuannya ini menjadikan sang
pemimpin tersebut dihormati dan bahkan diagungkan.
Selain sebagai seorang leader , memang pada awalnya seorang
pemimpin akan memulai keterlibatannya secara total-holistik dalam upaya mempengaruhi,
mengarahkan dan mengkoordinasikan orang-orang sekelilingnya; sehingga pada
akhirnya sang pemimpin mampu mendelegasikan wewenang
kepada bawahannya. Dasa prasanta ‘sepuluh
penenang’ tersebut terdiri atas:
a. Guna ‘bijaksana/kebajikan,
perintah yang diberikan oleh seorang pemimpin dipahami manfaat dan kegunaannya
oleh bawahannya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Disini seorang pemimpin
dituntut berbuat dan berperilaku secara bijak. Diantaranya, tahu kapan waktu
yang tepat untuk membuat perintah. Tidak asal perintah.
b. Ramah ‘bertindak
seperti orangtua yang bijak dan ramah atau bestari’, keramahan seorang pemimpin
akan menumbuhkan rasa nyaman dalam bekerja dan beraktifitas. Sesungguhnya
pemimpin yang ramah tidak akan mengurangi rasa kewibawaan seorang pemimpin.
Justru keramahan pemimpin bisa menjadi daya tarik bagi bawahan untuk
mengungkapkan atau menyampaikan hal-hal penting yang selama ini tidak
tersampaikan. Situasi dan suasana kondusif harus terus dibangun agar
keramahtamahan akan menjadi ‘sesuatu’ nilai yang sangat baik dan menyenangkan
bagi semua pihak.
c. Hook ‘sayang atau
kagum’, perintah seorang pemimpin dianggap sebagai representasi kekaguman atas
prestasi dari orang yang diperintahnya. Dengan cara ini, bawahan menjadi
entengan dan tidak memiliki beban apapun ketika harus menjalankan tugas atau
perintah atasan. Bayangkan bila ada anak buah tidak pernah diperintah, dipanggil, dan
diperhatikan. Tentu ia akan merasa tidak “disayang”.
d. Pesok ‘memikat
hati atau reueus/bangga’, seorang pemimpin harus mampu
memikat hati bawahannya serta merupakan kebanggaan juga bagi bawahannya.
Perintah yang disampaikan dengan cara yang menimbulkan kebanggaan bagi yang
diperintah. Hal demikian akan mampu mendorong kepercayaan bawahan yang
diperintah. Dalam soal seperti ini, Presiden Soekarno benar-benar jago dan
orang yang pas sebagai contoh pemimpin yang bisa dipakai untuk menggambarkan
tokoh Pesok ini. Banyak sudah saksi sejarah yang mengatakan hal seperti itu.
e. Asih ‘kasih,
sayang, cinta kasih, iba’, perintah pemimpin harus dilandasi dengan perasaan
kemanusiaan yang penuh getaran kasih. Tidak mudah menjalankan konsep asih ini.
Sebab, dalam melaksanakan konsep ini harus benar-benar keluar dari hati
terdalam.
f. Karunya ‘iba/sayang/belas
kasih’, sebenarnya hampir sama dengan asih, namun dalam karunya/karunia. Perintah pemimpin harus terasa sebagai suatu kepercayaan dari
pemimpin kepada yang dipimpinnya.
g. Mupreuk ‘membujuk
dan menentramkan hati’, seorang pemimpin seyogyanya mampu membujuk dan
menentramkan hati yang dipimpinnya dengan cara menumbuhkan semangat kerjanya.
h. Ngulas ‘memuji
disamping mengulas, mengoreksi’, melalui cara bermacam-macam. Seorang pemimpin
tidak ada salahnya memuji pekerjaan atau keberhasilan yang dipimpinnya sebagai
penghargaan dan pendorong kea rah yang lebih baik. Tradisi memberi pujian dan
penghargaan ini masih sangat langka. Sebaliknya, mengkritik, mencela dan
semacamnya lebih banyak dijumpai dalam praktek sehari-hari. Kita ini
sebagai bangsa, masih lebih suka mencela dan mengkritik. Kebiasaan
seperti ini sebenarnya kurang baik. Akan lebih baik bila kita juga memberi
solusi atau jalan keluar bagi setiap persoalan yang ada.
i. Nyecep ‘membesarkan
hati dan memberikan kata-kata pendingin yang menyejukkan hati’, bisa juga
diartikan memberi perhatian berupa moril maupun materiil walau hanya berupa ucapan terimakasih
atau pemberian ala kadarnya sebagai penyejuk hati juga dikala yang dipimpinnya
mendapat musibah atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan.
j. Ngala
angen ‘mengambil hati’, mampu menarik hati dan simpati bawahannya atau yang
dipimpinnya, sehingga tersambung ikatan silaturahim yang kenal dan harmonis.
Dasa
Prasanta sebagaimana yang telah disajikan apabila kita cermati secara seksama,
kaidahnya berpijak kepada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia (human
relationship) namun tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku
dan otoriter. Dalam proses komunikasinya menggunakan silih
asih, silih asah dan silih
asuh. Kepemimpinan yang mampu menerapkan konsep
seperti ini pastilah muncul keserasian antara pemimpin dengan masyarakatnya.
Berdasarkan kajian SSKK seseorang
dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah
‘mumpuni’. Dalam arti, seorang pemimpin harus ‘kharismatik’, ‘pamor’ atau
‘tuah’ yang terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam
kehidupan sehari-harinya, terpancar dalam setiap gerak dan langkah perilaku. Memang
semua itu sangat tergantung pula kepada karakter, tabiat atau kepribadian yang
melekat pada diri seorang pemimpin .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar