Pemimpin
Sebagai Abdi
SSK VI mengungkap “sikap pemimpin sebagai abdi”, yakni memberikan sebuah pesan
bahwa prasyarat sebelum jadi pimpinan harus mampu dulu bersikap sebagai abdi.
Artinya, jangan bermimpi bisa menjadi pemimpin yang baik sebelum mampu lulus
dan berperan sebagai abdi, sehingga konsep kepemimpinan tersebut terbagi dalam
3 konsepsi, yakni sebagai Hulun
(abdi), Palanka (wadah/pemerinah), Prebu (pimpinan).
Pada hakekatnya seorang pemimpin itu hanyalah seorang abdi utama, sebagai
pelayan. Bahkan dalam ” 8 Habbits”
dikatakan pemimpin tertinggi tingkat 5 adalah seorang pemimpin yang mampu
mengabdikan dirinya tanpa batas/melayani tanpa batas dengan disertai sikap
kerendahan hati serta konsisten untuk tetap mengingatkan tentang kebenaran tak
terhingga. Adapun sifat-sifat pemimpin sebagai abdi antara lain:
a. Mulah luhya
(jangan mengeluh)
b. Mulah kuciwa
(jangan kecewa)
c. Mulah ngontong dipiwarang
(jangan sulit diperintah)
d. Mulah hiri dan mulah dengki (jangan iri dan dengki)
e. Mulah nyet nyot tineung urang (tidak
pernah goyah)
f. Mulah kukulutus (tidak
pernah menggerutu)
g. Haywa Pamali (tidak
pernah melanggar pantangan)
h. Deung deungan sakahulunan (tidak
mencelakakan sesama).
Hal itu
sejalan dengan teori “Kepemimpinan sebagai Pelayan” dari Farhom (1994), Benge
(1950), atau Schein (1992) menyiratkan bahwa pada hakekatnya pemimpin itu
adalah melayani orang lain, melayani masyarakat dan melayani kepentingan
organisasi sehingga seorang pimpinan harus bersikap empati, tanggung jawab,
persuatif, pendengar yang baik, komitmen, konsisten dan konsekuen.
Sikap-sikap
pemimpin sebagai abdi yang lain tercatat dalam naskah SSK adalah sebagai 4
pantangan yang harus dihindari: Mulah
babarian (jangan mudah tersinggung), Mulah
pundungan (jangan mudah merajuk), Mulah
humandeuar (jangan mudah berkeluh kesah), Mulah kukulutus (jangan menggerutu).
Adapun
sikap seorang pemimpin sebagai abdi yang terakhir sesui dengan SSK-IV, bahwa
pengabdian itu pada hakekatnya adalah ibadah, bekerja menanam budi (ini karma ninghulun, saka jalan urang hulun,
karmo ma), maka sebagai seorang pemimpin: hendaknya takut (maka takut), segan (maka jarot), hormati (maka
atong), sungguh-sungguh (maka teuing).
Berkaitan
dengan larangan,SSK mengungkap bahwa pemimpin harus mampu menjaga dasakreta sebagai perwujudan dasaindra, yakni harus menjaga mata,
telinga, kulit, lidah, hidung, mulut, tangan, kaki, badan, dan aurat sejalan
dengan Q.S. Al Araaf 197.
Naskah
SSK selain mengupas sifat baik dan buruk seorang pemimpin, juga tertuang watak
manusia yang membuat kerusakan di dunia yang disebut Catur Buta, yaitu empat watak manusia yang berkaraker raksasa
perusak kehidupan.
a. Burangkak (mengerikan), dikenal
sebagai mahluk maha gila yang sangat mengerikan, tidak ramah, sering membentak.
Burangkak berkelakuan kasar, berhati
panas, tidak tahu tata krama dn sering melanggar aturan. Merasa derajatnya
lebih tinggi dari orang lain.
b. Mariris (tega/menjijikan),orang
yang menjijikan lebih dari bangkai binatang yang membusuk; manusia yang suka
mengambil hak orang lain, korup, menipu, berdusta.
c. Marende (menakutkan), dalam SSK
adalah sebangsa raksasa bermuka api. Pada awalnya rakyat menduga bahwa pemimpin
tersebut berwatak dingin menyejukan,mampu membawa masyarakat hidup damai
tentram, namun setelah menjadi pemimpin ternyata malah membawa panas dan
menimbulkan bencana di masyarakat.
d. Wirang (memalukan, licik),
dalam SSK ditampilkan sebagi binatang yang menakutkan, yaitu orang yang tidak
mau jujur, tidak mau mengakui kesalahan dirinya, tidak mau berterus terang,
sera selalu menyalahkan orang lain.
Salah
satu prasyarat utama sebagai seorang abdi adalah kesetiaan (satyadikahulunan) yang diwujudkan dalam
bentuk bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, orang tua, negara, tujuan mulia,
masyarakat, pemimpin, diri sendiri. Adapun dalam naskah SSK-I dikenal dengan
istlah Dasa Perbakti yang berawal
dari bakti di lingkungan keluarga, pendidikan, masyarakat, pemerintahan, dan di
lingkungan moral spiritual ketuhanan.
Konsep
kesetiaan sebagai abdi ini pun tersurat dalam filosofi dan pengertian dari
huruf Jawa kuno Hanacaraka, Datasawala,
Padajayanya, Magabatanga. Yang artinya,ada prajurit sebagai duta/utusan
yang membawa berita namun karena kesetiaannya terhadap perintah raja akhirnya
membawa kesetiaannya sampai mati. Dalam hal ini tersurat bahwa kesetiaan itu
harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
Apabila
menilik konsep pengabdian ini dari sisi agama sebagaimana tersirat dalam Al
Qur’an (Al Dzariat 51:56), dikatakan: “tidak
Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku” dan lebih
jauh dikatakan dalam surat Al Fatihah yang berbunyi: “iyya kana’ budu wa’iyya kanas ta’in” (hanya kepada-Mu kami
mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Jadi, artinya tugas
manusia di dunia ini sesungguhnya hanya semata-mata untuk mengabdi. Dan
diingatkan kepada manusia jangan meminta pertolongan dulu sebelum bisa mengabdi
dengan sempurna, karena kebiasaan yang terjadi, manusia selalu meminta
pertolongan tapi tidak ingat bahkan tidak pernah mengabdi baik kepada sesama
apalagi kepada Yang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar