Kepemimpinan Model Sultan Agung
Ajaran kepemimpinan ini dikembangkan oleh
KGPAA MN.I (Mangkunegoro I). Mangkunegoto I adalah keturunan langsung Sultan
Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang pernah memorakporandakan VOC di
Betawi pada tahun 1627 dan 1629.
Kita disadarkan bahwa ternyata tokoh kita
ini telah mampu mengolah potensi manusia yang begitu unik yaitu mengolah kecerdasan,
menghidupkan kehalusan budi, menjaga kesehatan raga, dan mengolah ketajaman
batin saat berhubungan dengan Tuhannya.
Ada 10 ajaran yang disampaikan dalam
bentuk tembang, dimulai dengan ungkapan : “Kawignyane Wong Agung puniki, pan
sedasa warna, yen tan bisa, nistha kuciwa dadine, dhihin karem ing ngelmu,”
Artinya, yang dimaksud orang Agung (keturunan Mataram) itu, haruslah memiliki
sepuluh kemampuan dasar, jika tidak menguasainya pastilah akan menjadi ksatria
yang nista dan mengecewakan. Pertama, gemar menuntut ilmu.
Kaping kalih bisa ngaji, ping tigo bisa
maca, ping sekawanipun, kudu alul anenurat,” Artinya, kedua harus mampu mengaji
al-Quran, ketiga, mampu membaca, keempat harus mampu menulis (mengarang).
Pengertian dan pemahaman seorang pemimpin haruslah luas, meliputi kemampuan
membaca, menulis, bahkan memahami pengetahuan secara luas.
“Kaping limo, wignyo anitih turanggi, ping
enem biso begso”, yaitu: kelima, terampil berkuda, keenam, mampu menari. Bisa
dipahami disini bahwa pemimpin harus melatih keterampilan olah keterampilan
fisik, sekaligus mempertajam olah rasa, agar mampu mempertajam olah rasa,
sekaligus mampu mengasah raganya.
“Ping pitune kudu wruh ing gending, kaping
wolu apan kudu bisa, tembung kawi tembang gede.” Yaitu ketujuh, seorang
pemimpin harus pandai menghayati (memainkan) lagu, kedelapan hrus mampu
sekaligus paham bahasa Jawa kuno dan tembang gede. Seorang pemimpin wajib
memahami budaya asli luluhurnya. Dengan demikian, ia akan memahami kekayaan
warisan budaya bangsanya.
“Ping sanga biso iku, olah yudho gelaring
jurit, wignyo angadu bala”. Yaitu kesembilan harus menguasai ilmu dan siasat
perang. Disini kita jadi memahami bahwa para pemimpin di masa lalu telah
memiliki strategi dan tehnik berperang melawan penjajah. Maka wajar jika
kemudian Sultan Agung mampu mengalahkan VOC yang dipimpin oleh Jan Pieter Zoon
Coen di Batavia.
“Ping sedasanipun, limpat pasanging
grahita, wruh sasmita traping kramaniti, wruh saniskareng basa.”Kesepuluh,
harus tanggap terhadap dinamika zaman, mengerti sopan santun, adat dan
budaya masyarakat.
Bila diperhatikan, pemimpin di masa lalu
saja sudah mempertimbangkan soal adanya perubahan zaman. Walaupun
demikian, ada pesan penting bahwa jangan lupa memperhatikan soal tata krama,
adat sopan santun sebagai dasar hidup masyarakat berbudaya.
Dengan memahami filosofi kepemimpinan Sultan Agung ini
kita jadi faham bahwa ternyata pemimpin pada masa itu telah mampu berfikir
fisioner, berfikir jauh ke depan, namun demikian juga telah memperhitungkan
soal norma, tata krama dan menjaga keharmonisan kehidupan dengan mengedepankan
etika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar