Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN MODEL SULTAN AGUNG



Kepemimpinan Model Sultan Agung

Ajaran kepemimpinan ini dikembangkan oleh KGPAA MN.I (Mangkunegoro I). Mangkunegoto I adalah keturunan langsung Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang pernah  memorakporandakan VOC di Betawi pada tahun 1627 dan 1629.
Kita disadarkan bahwa ternyata tokoh kita ini telah mampu mengolah potensi manusia yang begitu unik yaitu mengolah kecerdasan, menghidupkan kehalusan budi, menjaga kesehatan raga, dan mengolah ketajaman batin saat berhubungan dengan Tuhannya.
Ada 10 ajaran yang disampaikan dalam bentuk tembang, dimulai dengan ungkapan : “Kawignyane Wong Agung puniki, pan sedasa warna, yen tan bisa, nistha kuciwa dadine, dhihin karem ing ngelmu,” Artinya, yang dimaksud orang Agung (keturunan Mataram) itu, haruslah memiliki sepuluh kemampuan dasar, jika tidak menguasainya pastilah akan menjadi ksatria yang nista dan mengecewakan. Pertama, gemar menuntut ilmu.
Kaping kalih bisa ngaji, ping tigo bisa maca, ping sekawanipun, kudu alul anenurat,” Artinya, kedua harus mampu mengaji al-Quran, ketiga, mampu membaca, keempat harus mampu menulis (mengarang). Pengertian dan pemahaman seorang pemimpin haruslah luas, meliputi kemampuan membaca, menulis, bahkan memahami pengetahuan secara luas.
“Kaping limo, wignyo anitih turanggi, ping enem biso begso”, yaitu: kelima, terampil berkuda, keenam, mampu menari. Bisa dipahami disini bahwa pemimpin harus melatih keterampilan olah keterampilan fisik, sekaligus mempertajam olah rasa, agar mampu mempertajam olah rasa, sekaligus mampu mengasah raganya.
“Ping pitune kudu wruh ing gending, kaping wolu apan kudu bisa, tembung kawi tembang gede.” Yaitu ketujuh, seorang pemimpin harus pandai menghayati (memainkan) lagu, kedelapan hrus mampu sekaligus paham  bahasa Jawa kuno dan tembang gede. Seorang pemimpin wajib memahami budaya asli luluhurnya. Dengan demikian, ia akan memahami kekayaan warisan budaya bangsanya.
“Ping sanga biso iku, olah yudho gelaring jurit, wignyo angadu bala”. Yaitu kesembilan harus menguasai ilmu dan siasat perang. Disini kita jadi memahami bahwa para pemimpin di masa lalu telah memiliki strategi dan tehnik berperang melawan penjajah. Maka wajar jika kemudian Sultan Agung mampu mengalahkan VOC yang dipimpin oleh Jan Pieter Zoon Coen di Batavia.
“Ping sedasanipun, limpat pasanging grahita, wruh sasmita traping kramaniti, wruh saniskareng basa.”Kesepuluh, harus  tanggap terhadap dinamika zaman, mengerti sopan santun, adat dan budaya masyarakat.
Bila diperhatikan, pemimpin di masa lalu saja sudah mempertimbangkan  soal adanya perubahan zaman. Walaupun demikian, ada pesan penting bahwa jangan lupa memperhatikan soal tata krama, adat sopan santun sebagai dasar hidup masyarakat berbudaya.
Dengan memahami filosofi kepemimpinan Sultan Agung ini kita jadi faham bahwa ternyata pemimpin pada masa itu telah mampu berfikir fisioner, berfikir jauh ke depan, namun demikian juga telah memperhitungkan soal norma, tata krama dan menjaga keharmonisan kehidupan dengan mengedepankan etika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar