Fragment
Carita Parahiyangan (FCP)
Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah FCP. Pola kepemimpinan yang
tersirat dalam FCP, adalah Trarusbawa
sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan pusat) membawahi beberapa penguasa
wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama (tokoh
masyarakat wakil rakyat) dan pihak resi (penentu kebijakan hukum). Sistem
pembagian kekuasaaan seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu Dibuana (tiga unsus penentu kehidupan di dunia), terdiri
atas prebu, rama dan resi.
Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh
pemerintah) yang harus ngagurat batu
‘berwatak teguh’. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat
(legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah ‘berwatak menentukan hal yang mesti dipijak’.
Sedangkan resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama
dan darigama ‘negara’ (yudikatif atau
saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai ‘berwatak menyejukan seperti air, sesuai takarannya
dan selalu mengalir ke bawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan.
Bila menyimak sistem politik Sunda masa silam sebagaimana terungkap dalam
naskah FCP yang dikenal dengan Tri Tangtu
Dibuana, selama ini dikenal seolah-olah berasal dari “trias politica” Montesque yang mulai membumi pada abad XVIII
Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun, mungkin hal itu dianggapnya
benar, namun bagi filolog yang menguasai naskah, akan merasa aneh. Justru
pembagian sistem pemerintahan dan politik tersebut sebenarnya sudah diejawantahkan dalam pemerintahan Sunda
sejak abad ke-VIII M.
Hal itu membuktikan bahwa para leluhur pada masa lampau itu merupakan
orang-orang bijak dan cerdas yang ternyata sudah mampu melaksanakan teori trias politica dari Perancis. Sepuluh
abad sebelum teori itu sendiri lahir, sehingga di sini peran Prabu sebagai raja
tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter dengan kekuasaan tanpa batas. Melainkan ada
penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan Resi. Bahkan seorang raja tidak akan bisa
bertahan sebagai raja tanpa adanya restu dari Rama dan Resi, sehingga ada
sebuah filosofi yang dikenal dengan: Galunggung
ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora (seorang Tumenggung atau Raja
bisa dikatakan resmi sebagai Raja bila sudah ada restu dari Galunggung sebagi
pusat Rama dan Resi). Hal ini dibuktikan dari beberapa kejadian literatur
sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran, antara lain naiknya Prabu Permana
Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke-VIII) atau diangkatnya Jaya Dewata/Sri
Baduga Maharaja sebagai raja di Pajajaran (abad XV) sebagai akibat dileburnya
dua kerajaan Sunda dan Galuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar