Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN NASKAH FRAGMENT CARITA PARAHIYANGAN (FCP)



Fragment Carita Parahiyangan (FCP)
          Masalah kepemimpinan juga terungkap dalam naskah FCP. Pola kepemimpinan yang tersirat dalam FCP, adalah Trarusbawa sebagai prebu (pemimpin roda pemerintahan pusat) membawahi beberapa penguasa wilayah yang diangkat atas kesepakatan bersama dengan pihak rama (tokoh masyarakat wakil rakyat) dan pihak resi (penentu kebijakan hukum). Sistem pembagian kekuasaaan seperti itu dikenal dengan sebutan Tri Tangtu Dibuana (tiga unsus penentu kehidupan di dunia), terdiri atas prebu, rama dan resi.
          Prebu adalah pemimpin roda pemerintahan (eksekutif yang saat ini dipegang oleh pemerintah) yang harus ngagurat batu ‘berwatak teguh’. Rama adalah golongan yang dituakan sebagai wakil rakyat (legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat) yang harus ngagurat lemah ‘berwatak menentukan hal yang mesti dipijak’. Sedangkan  resi adalah golongan yang bertugas memberdayakan hukum agama dan darigama ‘negara’ (yudikatif atau saat ini dipegang oleh Mahkamah Agung) yang harus ngagurat cai ‘berwatak menyejukan seperti air, sesuai takarannya dan selalu mengalir ke bawah membela yang lemah dan teraniaya dalam peradilan.
          Bila menyimak sistem politik Sunda masa silam sebagaimana terungkap dalam naskah FCP yang dikenal dengan Tri Tangtu Dibuana, selama ini dikenal seolah-olah berasal dari “trias politica” Montesque yang mulai membumi pada abad XVIII Masehi. Bagi orang yang tidak terlalu mengenal naskah Sunda buhun, mungkin hal itu dianggapnya benar, namun bagi filolog yang menguasai naskah, akan merasa aneh. Justru pembagian sistem pemerintahan dan politik tersebut sebenarnya sudah diejawantahkan dalam pemerintahan Sunda sejak abad ke-VIII M.
          Hal itu membuktikan bahwa para leluhur pada masa lampau itu merupakan orang-orang bijak dan cerdas yang ternyata sudah mampu melaksanakan teori trias politica dari Perancis. Sepuluh abad sebelum teori itu sendiri lahir, sehingga di sini peran Prabu sebagai raja tidak bisa berkuasa mutlak/otoriter dengan kekuasaan tanpa batas. Melainkan ada penyeimbang kekuasaan yaitu Rama dan Resi. Bahkan seorang raja tidak akan bisa bertahan sebagai raja tanpa adanya restu dari Rama dan Resi, sehingga ada sebuah filosofi yang dikenal dengan: Galunggung ngadeg tumenggung, sukapura ngadaun ngora (seorang Tumenggung atau Raja bisa dikatakan resmi sebagai Raja bila sudah ada restu dari Galunggung sebagi pusat Rama dan Resi). Hal ini dibuktikan dari beberapa kejadian literatur sejarah kerajaan Sunda, Galuh dan Pajajaran, antara lain naiknya Prabu Permana Dikusuma sebagai raja Galuh (abad ke-VIII) atau diangkatnya Jaya Dewata/Sri Baduga Maharaja sebagai raja di Pajajaran (abad XV) sebagai akibat dileburnya dua kerajaan Sunda dan Galuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar