Sabtu, 21 September 2013

MASTER LEADERSHIP DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL NUSANTARA


MASTER LEADERSHIP DALAM PERSPEKTIF KEARIFAN LOKAL NUSANTARA
1.    Pengertian Kepemimpinan
Sebuah negara akan maju dan berkembang sangat tergantung  kepada para pemimpinnya. Sebaliknya, sebuah negeri disebut gagal juga sangat dipengaruhi oleh pimpinanya. Sudah banyak contoh, negeri makmur dan sentosa akibat dipimpin oleh pimpinan yang memang mampu memimpin rakyatnya secara baik. Sementara sebuah negeri bisa hancur berantakan ketika pimpinannya tidak becus mengelola atau memanage negerinya.
Berhasil atau gagalnya suatu organisasi sebagian besar ditentukan oleh kepemimpinan. Ungkapan yang menyatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang mendudukkan posisi terpenting. Seorang pemimpin apapun wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu memiliki beban untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.

Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya keterbatasan dan kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak, manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk memimpin, di lain pihak, ada orang yang memiliki kelebihan kemampuan untuk memimpin. Disinilah diperlukannya pemimpin dan kepemimpinan.
Ada yang beranggapan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Dalam hal ini tampak adanya intensitas hubungan keduanya. Pemimpin dan kepemimpinan memiliki arti penting dalam suatu kelompok. Keduanya memang memiliki hubungan timbal baik yang tidak bisa dipisahkan.

Sebuah kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan atau suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari pemecahan dari suatu persoalan bersama. Lebih jauh dirumuskan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah aktifitas untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan untuk mencapai tujuan organisasi. Konsep kekuasaan dekat dengan konsep kepemimpinan. Kekuasaan merupakan sarana bagi pemimpin untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Para pemimpin hendaknya tidak hanya menilai perilaku kepemimpinan mereka agar mengerti bagaimana sebenarnya mempengaruhi orang lain, akan tetapi mereka seharusnya juga mengamati posisi mereka dan cara mempergunakan kekuasaannya. Setiap organisasi apapun bentuk dan namanya merupakan suatu sistem yang memungkinkan setiap orang dapat mengembangkan kekuasaannya untuk berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. (Thoha, 2009: 5-6).

Berkaitan dengan masalah manajemen, dinyatakan bahwa manajemen merupakan suatu proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang lain. Dengan demikian, manajer merupakan aktor utama yang menggerakkan setiap kegiatan untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Manajemen dapat diterapkan pada setiap organisasi, baik organisasi perusahaan, pendidikan, organisasi politik, instansi, maupun keluarga demi mencapai suatu tujuan. Tahap-tahap kegiatan pencapaian tujuan organisasi lewat kepemimpinan, itulah yang dinamakan manajemen. Sehingga dengan demikian kepemimpinan mempunyai pengertian yang lebih luas, tidak hanya sekedar manajemen, dimana manajemen merupakan jenis pemikiran yang khusus dari kepemimpinan didalam usahanya untuk mencapai tujuan organisasi.

Kepemimpinan secara luas dapat digunakan oleh setiap orang dan tidak hanya terbatas dalam suatu organisasi atau kantor tertentu. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa kepemimpinan merupakan kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, atau seni “art” mempengaruhi perilaku manusia baik perseorangan maupun kelompok. Kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tatakrama birokrasi. Kepemimpinan bisa berlaku dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain ke arah tercapainya suatu tujuan tertentu. Kepemimpinan yang dibatasi tatakrama birokrasi atau dikaitkan dalam suatu organisasi tertentu dinamakan manajemen yang  biasanya melalui suatu proses tahap kegiatan pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian sebagaimana diinformasikan G. Terry dalam teori POAC (Planning, Organizing, Actualing, Colifroling) merupakan fungsi yang harus dijalankan dalam manajemen. Dengan demikian ada keterkaitan yang sangat erat serta tidak dapat dipisahkan antara kepemimpinan dengan manajemen serta aspek lainnya.

2.     Gaya Kepemimpinan
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selalu rendah hati, selalu membuka diri terhadap pelbagai tafsir atas realitas kehidupan. Ia juga sangat tahu diri bahwa menjadi pemimpin itu sangat berat. Maka bukan seorang pemimpin sejati manakala masih menyimpan sisa-sisa kesombongan diri  pada  orang tersebut.
Setiap pemimpin pasti  memiliki gaya  tersendiri dalam menjalankan kepemimpinanya. Gaya atau style kepemimpinan sangat mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku para pengikut atau bawahannya. Istilah gaya secara mendasar sama dengan “cara” yang digunakan oleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi para pengikut atau bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat (Thoha, 2009: 49).

Gaya kepemimpinan dalam tulisan ini dibagi ke dalam delapan kategori, yakni: pemimpin sebagai leader, pemimpin sebagai comander, pemimpin sebagai manajer, pemimpin sebagai entertainer, pemimpin sebagai father, pemimpin sebagai teacher, serta pemimpin sebagai enterpreuneur. dan pemimpin sebagai servicer.
  
3.     Karakteristik Kepemimpinan
Seorang  pemimpin  biasanya  memiliki karakter dalam menjalankan kepemimpinannya. Dengan karakter tersebut, orang menjadi tahu strategi yang dijalankan dalam menjalankan roda birokrasi dan pemerintahan.
Karakter yang dijalankan seorang pemimpin akan sangat berpengaruh terhadap  hasil yang diperoleh dalam proses kepemimpinannya. Setiap pemimpin biasanya hanya mampu menjalankan satu atau dua karakter. Tidak mungkin seorang pemimpin mampu menjalankan semuanya.
Boleh jadi karakter kepemimpinan ini dipengaruhi oleh kepribadiannya. Dan bersifat sangat personal. Namun akan sangat naif apabila seorang pemimpin tidak memiliki salah satu karakter. Pemimpin tersebut tentu saja akan menjadi  tidak memiliki karakter.
Dalam setiap periode kepemimpinan  idealnya muncul seorang pemimpin yang memiliki karakter tertentu. Dengan demikian akan terlihat dengan jelas dampak dari salah satu model yang diterapkan. Setiap pemimpin mestinya mempertegas jenis karakter yang dijadikan prinsip dalam  menjalankan tugasnya.
Bahkan bila diperlukan, setiap pemimpin perlu secara terus menerus mengasah ketajaman dalam menjalankan karakter kepemimpinanya. Sebab hanya dengan cara inilah akan muncul adanya saling pemahaman antara rakyat dan pemimpinnya. Sehingga muncul dinamika kepemimpinan yang baik. Mengingat semua pihak telah memahami arah yang akan dituju.
Di abad yang penuh tantangan ini diperlukan pemimpin-pemimpin yang berkarakter. Sebab hanya  pemimpin berkarakterlah yang mampu  menghadapi tantangan yang semakin  berat. Walaupun demikian, seberat apapun tantangan yang mesti dihadapi, pemimpin yang memiliki karakterlah yang biasanya akan mampu keluar mengatasi masalahnya. Sebab pemimpin jenis ini biasanya akan sangat kokoh dan kuat menghadapi beragam tantangan yang beragam tersebut.
Semakin kuat karakter kepemimpinan seseorang akan semakin kuat dalam menghadapi tantangan yang ada didepannya. Sebaliknya pemimpin yang tidak berkarakter akan rapuh dalam mengadapi tantangan kedepan.  Disinilah pentingnya sebuah bangsa memiliki pemimpin yang berkarakter  kuat. 


               a. Pemimpin Sebagai Leader

Menjadi Pemimpin? Siapa takut? Sejatinya seorang pemimpin itu terlahir dengan sendirinya, disamping setiap diri kita bisa dibentuk menjadi pemimpin. Ada tangan Tuhan yang menuntun seseorang sebagai pemimpin pilihan-Nya. Ia terlahir memang untuk menjadi pemimpin. Seorang pemimpin juga bisa muncul melalui penempaan pendidikan dan pelatihan atau tuntutan situasi. Artinya, ia menemukan pada dirinya sebagai pemimpin yang dibentuk melalui proses pendidikan dan tuntutan situasi yang menghendaki demikian.
Boleh jadi, Anda sedang menjadi pemimpin, sekalipun belum, Anda bisa menjadi pemimpin. Pertanyaan kemudian adalah, apakah Anda ingin menjadi seorang pemimpin? Dan, anda merasa memiliki skill “leadership”?
Pemimpin jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris menjadi "Leader", yang mempunyai tugas untuk me-lead (memberi petunjuk) anggota disekitarnya. Leadership (kepemimpinan) adalah sesuatu yang bersifat bakat, tidak akan serta merta tiba-tiba menjadi seorang pemimpin.
Para pemimpin sukses, rata-rata mereka pasti memiliki riwayat sebagai seorang “leader”. Entah itu ketua kelas, pengurus sebuah organisasi, atau memiliki segudang prestasi membanggakan. Tetapi, sekalipun tidak memiliki riwayat sebagai seorang pemimpin, tidak perlu berkecil hati, sebab leadership itu juga bisa dipelajari.
Bila kita ingin menjadi seorang pemimpin, misalnya, maka harus belajar menjadi seorang bawahan, banyak pemimpin sukses menapak karier ke jenjang tertinggi, memulai dari bawah. Menjadi seorang pemimpin, misalnya, Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota/Bupati, Camat, Lurah/Kepala Desa, Ketua RW/RT, Ketua organisasi kemasyarakatan, Komisaris, CEO, Direktur, Manager, atau sekedar menjadi seorang Supervisor, tetaplah disebut seorang leader.
Kendati demikian, menjadi seorang leader, tidak harus menduduki pucuk pimpinan atau menjabat sebagai, misalnya CEO. Sesungguhnya seseorang bukan menjadi pemimpin karena jabatan yang diembannya atau posisi yang dimilikinya. Tanpa jabatan seseorang tetap bisa menjadi seorang pemimpin, tulis Billy Boen,  CEO PT. Jakarta International Management.
Dalam buku laris “Leaders Without Title” karangan Robin Sharma, diceritakan bagaimana seseorang yang tidak menghiraukan jabatan di tempatnya bekerja, tapi secara terus - menerus mau dan mampu berkontribusi secara maksimal terhadap perusahaannya layaknya seorang pemimpin. Ketika Anda hanyalah seorang anggota tim atau seorang supervisor Anda juga bisa menjadi seorang pemimpin kalau Anda mau. Secara struktural mungkin rekan kerja Anda yang menjadi pimpinan, tetapi bukan berarti Anda tidak bisa mengeluarkan sisi kepemimpinan yang Anda miliki.
Pemimpin itu muncul dengan sendirinya karena rasa percaya diri yang dimiliki. Pemimpin yang sesungguhnya tidak butuh jabatan dan tidak menunggu untuk memiliki posisi penting untuk membuktikan bahwa dirinya adalah pemimpin yang sesungguhnya. Mereka berpikir dan bertindak layaknya seorang pemimpin yaitu untuk memberikan arahan untuk timnya. Dan layaknya seorang pemimpin sejati mereka pada umumnya murah hati. Mereka tidak pernah ragu untuk membantu orang lain untuk maju.
Jadi, pada dasarnya setiap orang bisa menjalankan kepemimpinan dan tidak hanya terbatas berlaku dalam suatu organisasi atau kantor tertentu. Kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata krama birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuan mempengaruhi orang perilaku orang-orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu (Miftah Thoha, 1993: 9)
Seorang ulama, misalnya, dapat diikuti orang-orang lain dan pengaruhnya besar sekali terhadap orang-orang di daerahnya, tidak harus terlebih dahulu diikat oleh aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan organisasi yang sering dinamakan birokrasi. Tetapi, seorang manajer yang terikat dengan aturan-aturan organisasi dapat saja berperilaku sebagai seorang pemimpin sepanjang dia mampu mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi, seorang manajer bisa berperilaku sebagai leader, tetapi seorang leader belum tentu seorang manajer.
Seorang leader harus bisa menjadi panutan. Ia merupakan cermin bagi anggota atau bawahannya. Oleh karena itu, kata kunci dari leader adalah adanya keteladanan yang melekat pada diri pimpinan. Memberikan teladan yang baik, dalam sikap maupun perilaku. Satunya pikiran, kata dan tindakan.
Di sini, aspek kepribadian pemimpin sebagai leader, tidak bisa diabaiakan.
Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu menjadi seorang leader, artinya seorang pemimpin harus mampu menunjukkan sesuatu yang benar. Dalam hal ini lebih menitik-beratkan kepada tingkah laku, sikap dan moral pemimpin itu sendiri. Seorang pemimpin dituntut adanya keteladanan disamping adanya kebenaran dalam dirinya, sehingga seorang pemimpin harus menjadi teladan atau panutan yang dapat diikuti oleh anak buahnya. Jika pemimpinnya berbuat dan berperilaku benar, tentu saja bawahannya pun diharapkan berbuat demikian.
Dalam model kepemimpinan seperti itu, dituntut adanya kesepakatan dalam satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan. Dalam pengertian bahwa jika pimpinannya lurus ibarat jarum, maka benangnya pun akan lurus, hal ini yang berkenaan dengan morality seorang leader.
Berkenaan dengan pemimpin sebagai leader yang dituntut adanya kesepahaman dalam satu pikiran, satu perkataan dan satu perbuatan, dalam etika Jawa dikenal ungkapan yang berbunyi “sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali”, artinya ucapan pendeta (dan) raja, tidak boleh diulang-ulang”. Maknanya adalah bahwa seorang pemimpin haruslah konsekuen untuk melaksanakan atau mewujudkan apa yang telah diucapkan apapun akibatnya.
Seorang pemimpin yang secara konsekuen selalu bertekad untuk melaksanakan apa yang telah diucapkannya, dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai pemimpin yang memiliki sifat bhawalaksana. Seorang raja atau pemimpin harus memiliki sifat bhawalaksana  disamping sifat baik lainnya. Sifat utama bagi seorang raja (pemimpin) adalah bermurah hati dan teguh memegang janji (Sujamto, 1989: 17)
Ada satu sifat yang dekat dengan bhawalaksana yang juga merupakan varian dari sifat “jujur”, yakni satyawacana yang merupakan salah satu dari lima prinsip hidup yang menurut Radhakrisnan (dalam Sujatmo, 1989: 135) disebut Pancasila. Kelima prinsip itu adalah: ahimsa (mencintai sesama dan semua makhluk hidup), alobha (tidak tamak, tidak haus kekuasaan), brahmacarya (pengendalian diri; jadi sama dengan kunci pengamalan P4), sura-pana-nisedha (menjauhi minuman keras), dan satyawacana (‘berkata benar’ atau tegasnya pantang untuk mengatakan sesuatu yang tidak benar).
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, sebagian besar masalah nasional kita sangat berkaitan erat dengan faktor  kepemimpinan sebagai leader--yang lekat dengan segala sifat, ucapan, sikap dan tindakan--bisa menjadi kunci sukses atau penyebab kegagalan. Seorang Presiden Indonesia, misalnya, sekalipun syarat-syarat minimal bagi calon Presiden telah ditetapkan secara konstitusional, dalam prakteknya hanya akan meloloskan kandidat ke gerbang pintu. Dibalik itu, ia memimpin negara dengan segudang permasalahan yang sangat kompleks dan menuntut sejumlah kualitas khusus yang tidak bisa dijaring dengan Undang-undang.
Kualitas khusus itu antara lain handal menangani kebijakan, sigap dalam mengambil keputusan, judgment yang matang, intelektualitas yang tinggi, inovatif, berani mengambil resiko, adaptif, naluri yang tajam, kepedulian terhadap masalah, tangguh mental, mau introspeksi dan belajar pada kesalahan, mampu menentukan prioritas, gigih mencari solusi, mampu membaca perubahan zaman dan trend dunia, kemampuan untuk beradaptasi, akhlak yang baik, dan lain sebagainya.
Ketika terjadi tsunami di Aceh, misalnya, keputusan Presiden SBY untuk segera ‘maju ke depan’ dan tiba di Aceh pada hari ke dua setelah tsunami adalah keputusan yang tepat dan strategis bagi proses pembuatan kebijakan Pemerintah setempat. Dengan berada ‘di depan,’ kondisi penderitaan yang luar biasa di Aceh benar-benar dapat dirasakan dan dipahami. Sebab tidak mungkin didapat SBY kalau hanya membaca laporan tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.

                b. Pemimpin Sebagai Manajer

Seorang pemimpin, di samping berperan sebagai leader, ia juga dituntut memiliki kemampuan dalam hal manajerial. Kemampuan ini sangat penting bagi seorang pemimpin. Salah satu contoh dalam satu sistem kehidupan yang paling kecil sekalipun (mengelola warung misalnya) diperlukan adanya administrasi, pembukuan atau hanya sekedar catatan yang berhubungan dengan seluk beluk warung itu sendiri, apalagi jika yang dikelolanya adalah sebuah instansi dalam ruang lingkup yang lebih besar, yang menuntut pertanggung-jawaban kinerja seorang pemimpin berdasarkan anggaran.
Jika seorang pemimpin tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik dalam mengelola ‘instansi’ ataupun perusahaan yang dipimpinnya, maka kepemimpinannya tersebut tidak akan berjalan dengan baik, maka ia akan mengalami kegagalan dalam cara memimpinnya. Dalam hal ini segala sesuatu harus dipertimbangkan dan diperhitungkan dengan seksama dan sebaik-baiknya, agar semua hal yang dilakukannya berkaitan dengan kepemimpinannya dapat dipertanggungjawabkan secara baik pula. Pengertian baik disini berarti baik dalam arti tertib, sistematis dan teratur.
Bila mengadopsi definisi manajer, yakni seorang yang bertindak sebagai perencana, pengorganisasian, pengarah, pemotivasi, serta pengendali orang dan mekanisme kerja untuk mencapai tujuan, maka pemimpin sebagai manajer dengan tindakan-tindakan tertentu tersebut benar-benar akan efektif dan efisien sepanjang dikelola secara baik dan diindahkan orang lain.
Jadi seberapa jauh organisasi mencapai tujuannya, sangat bergantung pada baik tidaknya manajerial yang dilakukan seorang pimpinan dalam mengoperasikan pekerjaannya. Seorang pemimpin sebagai manajer dengan sendirinya mensyaratkan adanya kemampuan manajerial.
Di sini, keterampilan dan peran pemimpin dalam merencanakan, mengarahkan, memotivasi dan mengendalikan  seluruh hierarki organisasi menjadi urgen. Miftah Thoha mengibaratkan manajer seperti aktor di panggung teater, ia bisa memainkan peranannya sebagai kewajiban yang tidak boleh tidak harus dimainkan.
Suatu peranan dirumuskan sebagai suatu rangkaian  perilaku yang teratur, yang ditimbulkan karena suatu jabatan tertentu. Peranan timbul karena seorang manajer memahami bahwa ia bekerja tidak sendirian.
Ia bekerja dan terlibat dalam hubungan antarpribadi dengan bawahan, rekan, dan atasan. Perbedaan aspek-aspek pekerjaan tersebut menyebabkan manajer semua hierarki organisasi terlibat dalam serangakain peran.
Henry Minzberg mengemukakan ada tiga peran utama yang dimainkan oleh setiap manajer sebagaimana dikutip Miftah Thoha dan H.B. Siswanto. Pertama, Peran Antar Pribadi Manajer (The manajer’s interpersonal roles). Dalam peran antarpribadi, manajer harus bertindak sebagai tokoh, sebagai pemimpin, dan sebagai penghubung agar organisasi yang dikelolanya berjalan dengan lancar. Sebagai tokoh (central figure) manajer seringkali berperan sebagai seorang tokoh dengan melakukan tugas seremonial, seperti menghadiri upacara-upacar pembukaan, peresmian, pengguntingan pita, pemukulan gong, menyambut tamu, menghadiri pesta perkawinan bawahan, dan lain-lain dalam rangka mewakili organisasi yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin (leader), manajer harus melakukan aktifitas, seperti merekrut bawahan, mengangkat, memberikan pelatihan, memotivasi, mengembangkan, dan menggiatkannya. Dalam organisasi informal biasanya, pemimpin diikuti karena mempunyai kekuasaan kharismatik atau kekuasaan fisik. Ada pun dalam organisasi formal, pemimpin yang diangkat dari atas, maka manajer seperti ini seringkali tergantung akan kekuasaan yang melekat pada jabatan tersebut. Sebagai penghubung (liasion), yaitu berhubungan dengan orang yang bukan bawahan atau atasannya (misalnya dengan rekan-rekannya dalam organisasi atau dengan pelanggan, kreditur, investor, pemasok, dan para pihak luar organisasi lainnya), untuk mendapatkan informasi. Terkait dengan peran antar pribadi, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig memberikan contoh kasus. Manajer kilang pulp mill (tokoh) menyambut kelas sekolah menengah untuk membahas masalah pencemaran. Manajer penjualan (pemimpin) mendesak bawahannya menutup lebih banyak penjualan agar tercapai quota bulan ini dan menghasilkan bonus perseorangan dan kelompok. Manajer proyek (penghubung) menemui kepala desain rekayasa pada waktu makan siang untuk mengetahui apakah spesifikasi baru dapat siap pada waktunya.
Kedua, Peran Informasional Manajer (The manager’s informational roles). Dalam peran ini, manajer bertindak sebagai pengumpul dan penyebar informasi. Dalam hal ini, manajer memainkan tiga peran, yaitu peran pemantau, peran penyebar, dan juru bicara. Sebagai pemantau (monitor), manajer secara kontinu mencari informasi yang dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Sebagai penyebar (dessiminator), manajer menyalurkan kepada bawahan informasi penting karena tanpa dia informasi tersebut tidak dapat diperoleh. Informasi yang disebarkan oleh manajer  ini dapat dibedakan atas dua tipe, yakni: kenyataan dan nilai. Informasi berdasarkan kenyataan ini diterima manajer dan bisa diteruskan kepada stafnya yang bersangkutan dengan informasi tersebut. Ada pun informasi berdasarkan nilai tersebut adalah informasi yang berhubungan dengan referensi atau acuan-acuan tertentu yang perlu diketahui oleh staf atau bawahannya. Misalnya pernyataan tentang nilai kejujuran yang harus menjadi pegangan bagi bawahan dalam bertindak agar bawahannya menjadi pegawai yang jujur. Sebagai juru bicara (spokesman), manajer menyampaikan sebagian dari informasi yang dikumpulkan kepada individu di luar unitnya atau bahkan pula para pihak lain di luar organisasinya. Terkait dengan peran informasi, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig memberikan contoh kasus berikut. Manajer kota memantau undang-undang federal dan negara bagian untuk menentukan apakah pengaruhnya terhadap pendanaan lokal. Manajer kota juga menyebarkan informasi tersebut dalam rapat staf sehingga mendapai para bawahan yang bersangkutan. Dirut sebuah asosiasi tabungan dan kredit lokal (juru bicara) memberikan kesaksian di depan Panitia Perbankan Senat untuk lobby otoritasi penyediaan jasa-jasa yang secara tradisional dicadangkan untuk bank-bank.
Ketiga, Peran Pengambil Keputusan Manajer (The manager’s decisional roles). Dalam peran ini, manajer harus bertindak dalam empat peran yang bertalian dengan pengambilan keputusan yang dapat diambil oleh manajer.  Peran manajer yang dimaksud adalah peran wirausaha (entrepreneur), peran pereda gangguan (disturbance handler), peran pengalokasian sumber daya (resource allocator), dan peran perunding (negosiator).
Dalam peran wirausaha , manajer berusaha untuk menyempurnakan unitnya. Sebagai wirausaha, manajer membuat perubahan secara sukarela. Peranan wirausaha atau dalam istilah lain entrepreneur dimulai dari aktivitas melihat atau memahami secara teliti persoalan-persoalan organisasi yang mungkin bisa digarap. Sebagai bagian dari peranan memonitor yang disebutkan di atas, maka melihat dan memahami secara teliti ini (scanning), manajer mempergunakan banyak waktunya untuk mencari beberapa kesempatan dan beberapa situasi yang barangkali dapat dipertimbangkan sebagai masalah. Dari hal ini kemudian manajer merancang suatu kegiatan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang terkendali.
Dalam peran pereda gangguan, manajer bertindak terhadap kondisi yang berada di luar pengendaliannya, misalnya pemogokan, pelanggan yang pailit, pembatalan kontrak, dan sejenisnya. Peranan ini membawa manajer untuk bertanggung jawab terhadap organisasi ketika organisasinya terancam bahaya, misalnya, akan dibubarkan, terkena gosip, issu-issu kurang baik, dan lain sebagainya. Kalau dalam entrepreneur, manajer berhadapan dengan perbuatan-perbuatan yang disengaja untuk mengadakan perubahan, maka dalam disturbance handler ini manajer menghadapi perbuatan-perbuatan yang tidak diketahui sebelumnya. peristiwa yang tidak diketahui sebelumnya ini memungkinkan mempercepat terjadinya gangguan-gangguan bahkan bisa memungkinkan timbulnya suatu krisis. Maka jika terjadi gangguan tindakan koreksi diharapkan datang dari manajer.
Sebagai pengalokasi sumber daya, manajer bertanggung jawab dalam menetapkan bagaimana  dan kepada siapa sumber daya yang dimiliki organisasi dan waktu yang dimilikinya sendiri akan digunakan. Membagi sumber daya  adalah suatu proses pembuatan keputusan. Di sini manajer diminta memainkan peran untuk memutuskan kemana sumber daya akan didistribusikan. Strategi harus ditetapkan, pandangan-pandangan yang jauh dan positif harus dilihat manajer, sehingga alokasi sumber daya dapat diberikan sebaik mingkin. Sumber daya ini meliputi sumber yang berupa uang, waktu, perbekalan, tenaga kerja, dan reputasi.
Sebagai perunding, manajer melakukan perundingan denga pihak lain di luar organisasi. Misalnya presiden direktur perusahaan melakukan perundingan kontrak  dengan pemasok, manajer bawahan berunding dengan wakil serikat pekerja, manajer pemasaran melakukan perundingan dengan pedagang eceran, dan sebagainya. Para manajer menggunakan banyak waktunya sebagai perunding karena merekalah yang memiliki informasi dan otoritas yang dibutuhkan seorang perunding. Proses negosiasi meminta manajer untuk menyusun strategi yang menguntungkan organisasinya, dan pada gilirannya pengambilan keputusan adalah suatu aktivitas yang tidak bisa dihindari olehnya.
Terkait dengan peran pengambil keputusan, Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig memberikan contoh berikut. Top manager’s, bagaimanapun ukuran perusahaannya, seringkali terlibat dalam usaha entrepreneurial yang menghasilkan penyesuian terhadap keadaan yang berubah. Misalnya, jika undang-undang yang diinginkan akan disahkan, maka dirut asosiasi tabungan dan kredit menyelenggarakan perbankan full service dan program promosi untuk memperoleh perhatian para nasabah. Di samping para manajer itu berusaha merencanakan, mengorganisir, melaksanakan, dan mengawasi berbagai aktiviatas dengan cara yang logis dan langsung, banyak waktu mereka tersita untuk menangani gangguan, mengatasi krisis, dan menangkis tekanan-tekanan dari luar. Jika seoranga siswa berusia 10 tahun yang dipecat dari sekolah, membakar gedung sekolah itu dan menghancurkan separuh gedung tersebut,maka kepala sekolah harus menanggapinya dengan mencari ruang pengganti dan mengkoordinir kegiatan-kegiatan para siswa, guru, staf administrasi, dan para orang tua untuk melaksanakan rencana perbaikan. Walikota adalah penjatah sumber daya untuk menyeimbangkan rencana yang diusulkan oleh kepala bagian dengan antisipasi arus penghasilan untuk tahun mendatang. Peranan perunding secara luas meliputi lebih daripada hubungan buruh-manajemen saja. Misalnya, direktur eksekutif dapat terlibat dalam perundingan dengan beberapa manajer departemen dan direktur pengembangan sistem mengenai prioritas untuk beberapa proyek komputerasi.
Ilustrasi lain dalam institusi Polri, misalnya, ada tingkatan-tingkatan, yaitu Polsek, Polres, Polda, dan Mabes Polri, atau dengan istilah ”lapis kemampuan” di mana setiap perkara penyidik harus ditangani menurut tingkatannya, seperti: Polsek menangani kasus yagn sudah seharusnya ditangani, apabila tidak mampu menangani, maka limpahkan ke Polres. Begitu seterusnya. Demikian pula sebaliknya, apabila Polres mengangap kasus tersebut arahnya ke Polsek, maka lakukan pelimpahan sampai Polsek.
Kapolda/Kapolres merupakan manajer di wilayah yang dipimpinnya dan berhak mengambil keputusan terkait dengan internal organisasi yang dipimpinnya. Seperti anggaran penyidikan yang harus dapat dihitung sebagai standar, yaitu kesulitan penanganan perkara yang dihadapi dalam melaksanakan penyidikan. Oleh karena itu ada tingkatan penanganan kasus ringan, sedang, dan berat. Hal tersebut termasuk ke dalam  siasat-siasat penegakan hukum.
Selain beberapa peran manajer yang dapat dimainkan oleh setiap pemimpin sebagaimana dikemukakan sebelumnya, seorang pemimpin juga dituntut terampil dalam melaksanakan proses manajemen. Beberapa bidang keterampilan yang penting untuk melaksanakan proses manajemen, menurut Paul Hersey dan Kennet H. Blanchard sebagaimana disitir H.B. Siswanto,  adalah sebagai berikut.

1Keterampilan teknis (technical skill)
Yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan, metode prosedur, teknik dan akal yang diperlukan untuk melaksanakan tugas spesifik yang diperoleh lewat pengalaman, pendidikan, dan pelatihan. Manajer membutuhkan keterampilan teknis yang cukup untuk menjalankan alat (mekanik) dari suatu pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya.

2) Keterampilan manusiawi (human skill)
Yaitu kemampuan dan pertimbangan yang diusahakan bersama orang lain, termasuk pemahaman mengenai motivasi dan aplikasi tentang kepemimpinan yang efektif. Manajer cukup memiliki keterampilan hubungan manusiawi agar dapat bekerja dengan para bawahan dalam organisasi dan mengelola kelompoknya sendiri

3)Keterampilan konseptual (conceptual skill)
Yaitu kemampuan memahami kompleksitas keseluruhan organisasi tempat  seseorang beradaptasi dalam operasi. Pengetahuan tersebut membenarkan seseorang bertindak sesuai dengan tujuan keseluruhan organisasi, daripada hanya dijadikan dasar tujuan umum dan kebutuhan kelompok yang mendesak. Manajer memerlukan keterampilan konseptual yang cukup untuk mengenali bagaimana berbagai macam faktor pada suatu kondisi tertentu berkaitan satu sama lain. Dengan demikian, tindakan yang diambilnya akan ditujukan untuk klepentingan organisasi secara keseluruhan

                    c. Pemimpin Sebagai Comander

Salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah kemampuan menggerakkan. Kemampuan ini dimaksudkan tidak lain agar mampu mencapai tujuan dengan segera. Kemampuan seperti ini  akan menunjukkan apakah seorang pemimpin itu piawai dalam mengelola organisasi atau tidak.
Seperti diketahui, menjadi seorang pemimpin itu harus tegas. Disinilah fungsi komando menjadi sangat penting.  Salah dalam memberikan komando akan bisa berakibat fatal bagi organisasi. Komando memberi garis yang tegas agar setiap tugas bisa dilaksanakan dengan baik.
Sistem komando biasanya diterapkan dalam organisasi militer. Karena sistem ini dianggap paling tepat. Sebab dalam organisasi militer sistem perintah memang harus dari satu komando. Sehingga jalur perintah mengikuti garis lurus, dari atas ke bawah.
Bawahan harus benar-benar tunduk dan patuh pada perintah atasan. Begitu pula seorang atasan juga harus bertanggung jawab atas perintah yang diberikan. Maka dalam kasus seperti ini tidak ada anak buah yang salah. Bila ada kesalahan dalam tugas, maka seharusnya komandannya yang paling bertanggung jawab.
Bagi  anak buah yang tidak patuh pada perintah atasan maka  sanksinya sangat keras. Inilah prinsip utama dalam penggunaan sistem komando.
Akan bisa dibayangkan bagaimana jika seandainya dalam sebuah operasi militer, ada anak buah yang tidak patuh pada perintah atasan, maka sudah bisa dipastikan bahwa operasi tersebut akan gagal. Prinsip ini sesungguhnya lebih mengutamakan garis instruksi dari atas ke bawah. Karena dari sanalah kekompakan dan kebersamaan akan terbangun.
Sistem komando tidak memberi kesempatan adanya kreativitas dari anak buah. Sebab aturan biasanya sudah baku dan tegas. Salah sedikit saja dalam menjalankan sistem komando akan bisa berakibat fatal.
Pemimpin sebagai comander akan sangat terlihat dengan jelas kemampuannya. Memang terkadang terlihat menjadi sangat kaku dalam sistem ini. Namun hannya dengan cara inilah organisasi akan berjalan dengan baik.
Seorang comander adalah juga wujud dari seorang pemimpin yang tegas dan keras. Pemimpin jenis ini justru dihormati daisegani karena ketegasannya.

d. Pemimpin Sebagai Entertainer

Seorang pemimpin selain dituntut memiliki kemampuan manajerial juga harus memiliki kemampuan entertainer. Kemampuan entertainer merupakan salah satu inti dari kepemimpinan yang ada kaitannya dengan masalah human relation. Seorang pemimpin harus dapat membina hubungan baik dengan sesama manusia secara horizontal dengan pimpinan manapun disamping dapat membina hubungan baik dengan bawahannya serta dengan lingkungan sekitarnya. Dalam bahasa yang sederhana, boleh dikatakan seorang pemimpin harus bisa “luwes” bergaul dengan siapapun. Ia tidak canggung dengan bawahan, namun ia juga tidak ”kaku” dengan orang-orang yang berada sejajar dengan posisinya.
Kemampuan entertainer ini berkaitan erat dengan masalah ‘art’ atau seni berdiplomasi. Seorang pemimpin yang memiliki kemampuan entertainer , akan membuat sebuah masalah masalah formal misalnya, mampu dibawa ke dalam suasana informal atau sebaliknya.Tanpa mengurangi esensi atau tujuan dari target yang diinginkannya. Biasanya sering sebuah masalah yang sulit dipecahkan dalam sebuah situasi formal, akan dengan mudah dibahas dengan cara nonformal.
Masalah-masalah formal yang berkenaan dengan politik misalnya keputusan-keputusan penting biasanya diambil tidak dalam sidang atau rapat, tetapi ditentukan di meja makan dalam suasana yang akrab dan kekeluargaan, dalam hal ini muncul istilah loby atau negoisasi dari hati ke hati. Karena sebagai seorang pemimpin, ia memang dituntut untuk  tidak terlalu kaku dalam cara memimpin serta mengerahkan segala daya dan upayanya berdasarkan kemampuan ‘seni’ yang dimilikinya.
Ini bukan sebuah ‘kolusi’. Suasana keakraban dan keharmonisan yang terjalin antara sesama manusia merupakan suatu modal yang sangat besar bagi seorang pemimpin yang merupakan suatu kekuatan. Karena telah mampu memberdayakan kemampuan ‘art’ nya atau entertainer-nya sehingga terbina sebuah hubungan yang harmonis, selaras dan terjalinnya suatu komunikasi yang baik, lancar dan menyenangkan. Tentu dengan satu tujuan yakni agar misi atau target yang diinginkan berhasil mencapai sasarannya.
Adakalanya seorang leader berperan ganda sekaligus sebagai seorang tokoh, hal itu ditunjang oleh kemampuan entertainer-nya yang menjadikan dia demikian. Sebagai seorang pemimpin, melalui kemampuannya sebagai entertainer, beliau mampu menjelma menjadi seorang tokoh yang berwibawa dan dikagumi. Sebagai contoh: Partai Demokrat yang pada awalnya merupakan sebuah partai kecil, yang dimotori oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui figur SBY yang kharismatis, berwibawa membawa Partai Demokrat menjadi sebuah partai yang besar dan memenangkan pemilu. Bukan hanya satu pemilu, bahkan dua kali Pemilu. Sebuah prestasi yang tentu saja tidak bisa dianggap enteng.
Hal seperti itu tentu saja didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki kemampuan leader, manajer maupun entertainer  sekaligus. Pemimpin demikian itu tentu saja sangat dikagumi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini juga memberi bukti bahwa sosok atau figur SBY menjadi salah satu kebanggaan bagi masyarakat Indonesia dengan terpilihnya kembali menjadi presiden Republik Indonesia untuk periode kedua yakni periode 2009-2014. Sebuah periode yang tentu tidak akan terpilih kembali jika Pak SBY tidak  memiliki tiga kemampuan tersebut.

ePemimpin sebagai Enterpreneur

Seorang pemimpin selain harus memiliki ketiga kemampuan seperti leader, manajer dan entertainer, ia juga harus memiliki jiwa enterpreneur. Yakni adanya jiwa kewirausahaan. Seorang pemimpin memerlukan jiwa marketing, kejuangan yang tinggi serta keuletan yang tahan banting agar kepemimpinannya bisa berjalan dengan baik tak tersisihkan. Disini ketahanan untuk tidak mudah menyerah menjadi kata kunci utamanya.
Jika seorang pemimpin tidak memiliki kemampuan enterpreneur dengan baik, maka hal itu akan melemahkan kedudukan dan kepemimpinannya. Kemampuan enterpreneur merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan kepemimpinannya.
Maju mundurnya suatu perusahaan atau instansi tergantung kepada kemampuan enterpreneur pemimpinnya. Begitu pula maju mundurnya sebuah Negara bisa sangat ditentukan oleh kemampuan pemimpinnya dalam membawa rakyatnya ke sebuah wilayah kemandirian dan kewirausahaan rakyatnya.
Negara yang  maju adalah Negara yang rakyatnya mampu mandiri, berdikari, dan bahkan  tidak tergantung dengan “bantuan”  atau subsidi dari pemerintahnya. Semakin besar subsidi yang diberikan kepada rakyatnya maka semakin memberi gambaran ketidakberhasilan pemimpin dalam mengelola interpreneurshipnya.
Entrepreneur seperti halnya dengan pemimpin, bukan sekadar dilahirkan. Entrepreneur bisa diciptakan, dibesarkan, dan kemudian menjadi manusia unggul bernama pengusaha. Untuk itulah diperlukan pemimpin berjiwa entrepreneur.
Menurut Antonius Tanan, pemimpin sebagai entrepreneur dapat dimaknai sebagai kepemimpinan yang tidak sekadar bermain pada dataran mainstream. Tidak sebatas menjadi operator sistem yang diciptakan. Kepemimpinan entrepreneur tak lain adalah para pemimpin yang mampu membuat terobosan-terobosan kreatif dan mampu diterima oleh pasar.
Hal demikian sejalan dengan makna dari entrepreneur ini, yaitu (1) mampu melakukan perubahan yang kreatif dan dramatis, (2) menciptakan karya yang disambut pasar, (3) menciptakan uang/hasil akhir tanpa ‘uang.’ Artinya entrepreneur mampu melipatgandakan sumber-sumber yang ada menjadi nilai tambah.
Bagaimana agar seorang pemimpin mampu melakukan perubahan dengan penuh kreatif sekaligus dramatis? Semua akhirnya kembali pada pola pikir (mindset). Pola pikir ini yang berpengaruh besar bagi pembentukan karakter, perilaku dan semangat untuk selalu kreatif dan dramatis. Dalam bahasa kontemporer disebut dengan inovasi.
Menurut J. A Schumpeter dalam bukunya “The Entrepreneur as Innovator”. Seorang pemimpin berjiwa entrepreneur merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, enerjik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpandangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap risiko, senang mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak berjiwa entrepreneur. Maka, dia akan cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang pemimpin akan mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Dia juga akan kesulitan mengikuti kesulitan setiap langkah-langkah bisnis entrepreneur.
Pada hakekatnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya Sumber Daya Alam, namun rakyat Indonesia seperti tak kunjung makmur dan menikmati kekayaan. Kondisi ini menggugah orang seperti Ciputra.
Dalam berbagai kesempatan, maestro bisnis bernama Ciputra mengungkapkan prasyarat agar Indonesia menjadi makmur tak lain adalah semakin banyak masyarakat yang menjadi entrepreneur Ada satu keunggulan menonjol yang dimiliki para entrepreneur sehingga mereka mampu membawa gerbong kemakmuran, yaitu menciptakan peluang dan mengeksekusinya menjadi nilai tambah.
Isi perut bumi Indonesia jelas penuh peluang. Akan berlipat-lipat peluang ini apabila ditangani para pemimpin berjiwa entrepreneur yang nasionalis. Ciputra tidak memiliki ambisi pribadi untuk kepentingan bisnisnya. Ciputra mempraktikkan apa yang menjadi visi besarnya pada 2033 untuk menciptakan minimal 4 juta entrepreneur bagi kesejahteraan bangsa.
Dua sosok lain berikut juga kaya dengan terobosan-terobosan inovatif, sebagai contoh pemimpin berjiwa entrepreneur. Yakni Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan (DI) dan Muhammad Yusuf Kalla (JK).
Keduanya dipandang memiliki kemiripan dalam gaya kepemimpinan dan menjadi sosok pemimpin bangsa yang mampu menginspirasi. Ya, keduanya JK dan DI tampil menerobos kebuntuan, stagnasi, dan kemandekan birokrasi di tengah karut marut bangsa yang mengalami krisis kepemimpinan dan keteladanan.
Aksi DI mengatur kendaraan di pintu tol Semanggi di pagi hari buta membuat publik terkesima. Mantan Dirut PLN itu marah melihat antrean mobil sedemikian panjang, namun hanya dua loket yang melayani pengguna tol. Menurut Dahlan, itu bertentangan dengan instruksinya, antrean di pintu masuk tol paling panjang lima mobil. (Fajar online, 20 Maret 2012).
Sebelumnya berbagai terobosan juga dilakukan pengusaha low profile ini. Masih ingat bagaimana DI yang seorang menteri mau menaiki kereta dan ojek untuk menghadiri rapat pemerintahan di Istana Bogor. Kinerja DI juga tidak diragukan. Di tangannya, Jawa Pos berkembang menjadi salah satu grup surat kabar terbesar di tanah air. Dahlan Iskan juga mampu menunjukkan kinerjanya mengangkat kualitas PLN di tengah keraguan banyak kalangan. Kini, saat jadi Meneg BUMN berbagai terobosan dilakukan dengan mengektifkan kinerja dan merestrukturisasi ratusan BUMN.
JK menunjukkan gaya kepemimpinan yang simpel dan tidak bertele-tele sehingga membuat setiap proses menjadi lancar.  JK adalah sosok pemimpin yang unik, khas, berani dan cerdas.
Bila mencermati gaya kepemimpinan JK dan DI terdapat banyak kemiripan. Keduanya dikenal karena dianggap sangat cepat dalam bergerak, tegas dalam bertindak, dan selalu menyelasaikan masalah yang ada dengan solusi yang cerdas. Keduanya, JK dan DI tampil jadi sosok fenomenal dengan berbagai terobosan untuk mencapai kemajuan atau keberhasilan, meski melakukannya dengan cara yang berbeda (out of the box). Menariknya, keduanya berlatar belakang yang sama sebagai seorang entrepreneur.
Keduanya selalu tampil logis, spontan dan tegas, bahkan berani mengambil risiko, perspektif ke depan dan berorientasi hasil, khas entrepreneur. JK dan DI adalah sosok pemimpin yang bukan hanya senang menerima laporan ABS atau “Asal Bapak Senang”, selalu tampil sebagai problem solver tanpa peduli pada yang namanya pencitraan.
Ada juga pemimpin lainnya yang yang berhasil membangun daerahnya ternyata juga berlatar belakang entrepreneur. Diantaranya ada Jokowi, walikota Solo, Fadel Muhammad mantan Gubernur Gorontalo serta Nurdin Abdulah, Bupati Bantaeng. Mereka adalah sosok-sosok pemimpin inovatif yang berorientasi pada hasil maksimal melalui proses yang efisien. Bagi pemimpin entrepreneur, lambat-cepatnya bertindak sama-sama memiliko risiko apakah gagal dan sukses. Namun pengalaman sebagai entrepreneur, bertindak lebih cepat, efektif dan efisien serta inovatif lebih menantang dan nyata tanpa harus memikirkan pencitraan.
Pengembangan entrepreneurship atau kewirausahaan menjadi sangat penting karena menjadi kunci kemajuan. Pengembangan kewirausahaan bukan hanya upaya untuk mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Lebih jauh lagi secara politik, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat. Tanpa entrepreneurship sumber energi, komoditi dan mineral yang melimpah di Indonesia tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan rakyat.
Pakar manajemen bisnis Dr. Rhenald Kasali (1997) memberikan defenisi bahwa entrepreneur adalah seseorang yang menyukai perubahan, melakukan berbagai temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain, mencitakan nilai tambah, memberikan manfaat bagi dirinya dan orang lain, karyanya dibangun berkelanjutan atau bukan ledakan sesaat dan dilembagakan agar kelak dapat bekerja dengan efektif di tangan orang lain.
Terkait kepemimpinan, John Kotter dari Harvard Business School dalam Robin (2008) mengatakan bahwa kepemimpinan sangat terkait dengan perubahan. Pemimpin menentukan arah dengan cara mengembangkan suatu visi masa depan, kemudian mereka menyatukan orang-orang dengan mengkomunikasikan visi dan menginspirasi mereka untuk mengatasi berbagai rintangan.
Dengan gambaran di atas, bangsa ini membutuhkan sosok-sosok pemimpin sebagai entrepreneur di berbagai bidang dan wilayah kerja, apakah Business Entrepreneur yang berkaitan dengan dunia usaha, Academic Entrepreneur yang berkaitan dengan pendidikan, Government Entrepreneur yang berkaitan dengan urusan pemerintahan dan Social Entrepreneur atau wirausaha kemasyarakatan.
Di era perubahan yang serba cepat ini maka dibutuhkan entrepreneurial leadership sebagaimana terlihat pada sosok JK dan DI. Kepemimpinan entrepreneurial tampak dalam ciri-ciri tidak menunggu atau menyerahkan nasib kepada orang lain, melainkan mengambil inisiatif dan menganggap dirinya memiliki peran kunci dalam organisasi. Dia membangkitkan energi timnya. Menunjukkan kreativitas yang entrepreneurial, selalu mencari peluang-peluang baru dan merealisasikannya. Berani mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, memberikan arahan strategis, dan menginspirasi timnya. Bertanggung jawab atas kegagalan dari timnya, belajar dari kegagalan tersebut, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan organisasi yang menguntungkan semua pemangku kepentingan (Betti Alisjahbana, 2010).
Memunculkan pemimpin sebagai entrepreneur, apalagi dalam pemerintahan, tampaknya telah menjadi agenda yang mendesak. Amerika saja, di bawah tekanan finansial yang hebat, para pemimpin daerah dan negara bagian tidak punya pilihan kecuali mengubah cara mereka menjalankan usahanya hingga menginspirasi bagi Pemerintahan Wirausaha (David Osborne dan Ted Gaebler, 2005).
Para walikota dan gubernur menjalankan sistem “kemitraan-swasta” dan mengembangkan beberapa cara “alternatif” untuk memberikan pelayanan. Kota-kota membantu tumbuhnya kompetisi antar penyedia jasa dan menciptakan sistem anggaran baru. Para manajer pemerintah mulai membicarakan “manajemen perusahaan”, “organisasi pengetahuan”, dan “kota swadaya.” Beberapa negara mulai melakukan restrukturisasi sistem layanan masyarakat mereka yang paling mahal: pendidikan, pemeliharaan kesehartan, dan kesejahteraan.
Phoenix, Arizona, menempatkan Departemen Pekerjaan Umumnya dalam kompetisi langsung dengan perusahaan swasta untuk mendapatkan kontrak dalam menangani pengumpulan sampah, perbaikan jalan, dan jasa-jasa lainnya. St. Paul, Minnesota, mendirikan setengah lusin perusahaan korporasi swasta nirlaba untuk membangun kembali kota itu. Orlando, Florida menciptakan begitu banyak pusat laba sehingg penerimaannya melampaui pendapatan pajaknya.
Minnesota membebaskan para orang tua dan siswa memilih sekolah negerinya dan enam negara bagian lainnya dengan cepat ikut menyesuaikan. South Carolina mengembangkan insentif prestasi di mana sekolah-sekolah dan para guru berkompetisi mendapatkan dana untuk mencoba bergbagai gagasan baru, kepala sekolah dan guru yang mencapai hasil tertinggi mendapatkan bayaran insentif, dan sekolah yang siswanya mengalami peningkatan besar dalam keterampilan dasar dan kehadirannya akan memperoleh uang ekstra. Dalam tiga tahun pertama program ini, tingkat kehadiran di negara bagian meningkat, semangat guru melonjak lebih cepat dibanding di negara  bagian lain.
Walikota Indianapolis, William Hudnut, menggambarkan fenomena tersebut sebagaimana juga orang lain. “Dalam pemerintahan,” katanya dalam sebuah pidato di tahun 1986, “kecenderungan yang rutin adalah melindungi ‘tempat basah’, menolak perubahan, membangun kerajaan, memperbesar lingkup kendali seseorang, melindungi proyek dan program tidak peduli masih diperlukan lagi atau tidak.” Sebaliknya, pemerintahan bergaya “wirausaha” akan mencari cara yang lebih efektif dan efisien untuk mengelola:

Pemerintah wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, imanjinatif, dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi saran penghasil uang ketimbang penguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif  tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja sama dengan sector swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan dan mengadakan berbagai usaha yang mengahasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberikan penghargaan terhadap jasa. Ia pun mengatakan, “Mari kita selesaikan pekerjaan ini,” dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar.
Untuk lebih memperjelas gambaran bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan sebagai entertainer, di samping leader, manajer dan enterpreneur. Yakni adanya hubungan kerja sama yang baik dan saling membutuhkan antara pemimpin dengan yang dipimpinnya atau masyarakatnya, sehingga dapat sukses dalam mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Tidak ada pemimpin yang sukses tanpa didukung masyarakatnya, demikian sebaliknya. Berikut ini dipaparkan kriteria kepemimpinan menurut Gajah Mada (dalam Purwadi, 2007: 205) sebagai berikut:

Abikamika  : Pemimpin harus tampil simpatik, berorientasi kebawah dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.

Prajna        : Pemimpin harus bersikap arif dan bijaksana serta menguasai ilmu pengetahuan teknologi, agama juga dapat dijadikan panutan bagi rakyatnya.

Usaha         : Pemimpin harus proaktif, berinisiatif, kreatif dan inovatif (pelopor pembaharuan) serta rela mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan rakyat.

Atma Sampad      : Pemimpin mempunyai kepribadian: berintegras tinggi, moral yang luhur serta objektif dan memiliki wawasan yang jauh ke masa depan demi kemajuan bangsanya.

Sakya Samanta    : Pemimpin sebagai fungsi kontrol mampu mengawasi bawahan (efektif, efisien dan ekonomis) serta berani menindak secara adil bagi yang bersalah tanpa pilih kasih dan tegas.

Aksudra Pari Sakta       : Pemimpin harus akomodatif, mampu memadukan perbedaan dengan permusyawaratan serta pandai berdiplomasi, menyerap aspirasi bawahan serta rakyatnya.

Agar lebih luas pandangan kita berkaitan dengan soal kepemimpinan, dalam tulisan inipun disertakan prinsip catur darmaning nerpati yang merupakan empat sifat utama bagi seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan Gajah Mada sebagai panglima militer (Purwadi, 2007: 206) sebagai berikut:

1)    Jana  Wisesa Suda, yakni seorang panglima/pemimpin hendaknya menguasai segala macam ilmu pengetahuan, baik teknologi, kemiliteran maupun ilmu pengetahuan agama spiritual secara teori maupun praktek.

2)    Kaprihaning Praja, Seorang panglima/pemimpin harus mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha mengadakan perbaikan kondisi.

3)    Kawiryan, seorang panglima/ pemimpin harus memiliki keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani karena benar dan takut karen salah.

4)    Kawibawaan, seorang panglima/pemimpin harus memiliki kewibawaan terhadap bawahan/rakyat, sehingga setiap perintahnya dapat dilaksanakan dan program yang direncanakan dapat terealisasi dengan baik.

Kepemimpinan berdasarkan syariat Islam sebagaimana yang terpancar dalam karakter dan sifat Nabi besar Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang meliputi:
·        Amanah (yang dapat dipercaya, jujur; tidak pernah bohong dan bisa memegang amanat),
·        Fatonah (pintar dan cerdik),
·        Sidiq (benar) serta
·        Tablig (penyampai kabar untuk ketiga aspek; amanah, Fatonah dan Sidiq).

Seorang raja atau pemimpin harus memiliki sifat bhawalaksana  disamping sifat baik lainnya. Sifat utama bagi seorang raja (pemimpin) adalah bermurah hati dan teguh memegang janji (Sujamto, 1989: 17)

f. Pemimpin Sebagai  Teacher

Pada saatnya pemimpin itu harus bisa menjadi teacher, guru.  Seorang pemimpin sudah selayaknya mampu menjadi guru bagi anak buahnya. Ia mampu menjawab setiap pertanyaan dari anak buahnya yang tidak tahu tentang suatu hal. Sehingga anak buah merasa mendapat banyak pelajaran dari sang guru tersebut.
Layaknya seorang guru, pemimpin wajib mengatahui tentang banyak hal. Sehingga ia benar-benar menjadi tempat bertanya, tempat belajar, dan tempat menggali ilmu. Seorang pemimpin yang tidak mampu menjawab pertanyaan orang-orang yang dipimpinnya akan dianggap kurang berwibawa atau kurang cakap. Untuk itu seorang pemimpin wajib secara terus menerus menambah ilmu dan pengetahuan agar ia mampu menjadi guru yang baik.
Pengertian guru yang lain adalah bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadi guru dalam pelaksanaan tugasnya. Artinya seorang pemimpin harus dapat memiliki keahlian dan kepintaran lebih dibandingkan para anak buahnya.
Guru yang baik adalah guru yang selalu punya jiwa ”membimbing”. Demikian pula dengan seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang berjiwa membimbing anak buahnya. Pemimpin jenis ini dengan penuh kesabaran dan ketelatenan membimbing anak buahnya dengan tulus ikhlas. Sehingga anak buahnya juga merasa terbimbing dan merasa mendapat panduan dari pimpinannya.
Dalam hal memimbing ini diperlukan kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa. Artinya, seorang pemimpin pintar saja tidak cukup. Namun ia perlu memiliki sifat-sifat sabar dan telaten. Seperti diketahui, anak buah pastinya memiliki karakter dan sifat yang beraneka macam. Pemimpin wajib mengetahui dan mampu mengelola setiap karakter tersebut. Dengan demikian pemimpin tersebut mampu menjadi tempat mengadu siapapun anak buahnya dengan penuh kesabaran dan ketelatenan.
Guru yang baik adalah memiliki jiwa mengabdi. Begitu pula dengan pemimpin yang baik adalah pemimpin yang  memiliki jiwa mengabdi. Pengabdiannya pun mesti diberikan secara ikhlas dan tanpa pamrih. Disini akan terlihat bahwa apakah seseorang itu disebut sebagai pemimpin sejati atau bukan? Semua dapat dilihat dari seberapa besar pengabdian yang diberikan oleh seorang pemimpin kepada anak buahnya.
Pemimpin yang memiliki jiwa mengabdi akan cenderung dicintai rakyatnya. Dalam banyak kasus pemimpin jenis ini akan abadi. Maka tidak mengherankan apabila pemimpin jenis ini akan  dipilih lagi untuk periode-periode berikutnya. Sebaliknya, pemimpin yang serba punya pamrih akan  kurang dicintai rakyatnya. Disinilah ujian terberat yang mesti dihadapi oleh seorang pemimpin.
Sifat guru yang lain adalah sebagai teladan bagi muridnya. Bila hal demikian diterapkan dalam soal kepemimpinan maka seorang pemimpin juga wajib menjadi teladan para anak buahnya. Setiap gerak dan langkah pemimpin akan menjadi sorotan. Untuk itu pemimpin yang baik tentunya mesti mampu dijadikan teladan anak buahnya.
Keteladanan diperlukan sebab pemimpin jenis ini seperti memberi  perintah tak tertulis. Keteladanan adalah  cara paling mudah untuk membuat orang mengikuti, mencontoh, atau meniru apapun yang dilakukan oleh sang pemimpin. Memberikan teladan adalah juga cara paling efektif untuk membuat orang lain melakukan apa yang dilakukan pemimpin tersebut.

g. Pemimpin Sebagai Father

Seorang pemimpin harus bersifat kebapakan. Artinya dapat disegani dan dihormati. Dapat mengayomi bawahannya dan bersifat bijaksana. Seorang Bapak, pastilah akan menjadi tempat bersandar yang paling aman dari ”anak buah”nya.
Sifat kebapakan ini penting, sebab dengan sikap ini, anak buah tidak akan sungkan untuk bertanya segala hal yang tidak ia ketahui. Bahkan seorang Bapak juga harus siap dijadikan tempat mengadu, curhat, dan tempat bertanya atas persoalan-persoalan yang dialami anak buah atau bawahannya.
Mengayomi bawahannya bisa diterjemahkan secara luas. Yakni memberikan perlindungan, serta rasa aman terhadap semua anak buahnya, tanpa pernah memperlakukan siapapun anak buahnya secara pilih kasih. Dengan demikian, anak buah benar-benar merasa nyaman dalam menjalankan setiap pekerjaan yang dibebankan kepada mereka.
Sifat bijaksana, adalah sifat yang memang sudah harus menjadi sikap seorang Bapak. Sifat bijaksana ini harus melekat pada seorang pimpinan. Bijaksana dalam memutuskan, bijaksana dalam memberikan reward dan punishmen, dan bijak dalam bersikap dan berperilaku kepada seluruh bawahannya.
Salah satu sifat penting dari seorang pemimpin jenis ini adalah soal kesabaran. Seorang Bapak harus sabar dalam membimbing bawahannya agar mampu menjalankan tugas dengan baik.
Seperti diketahui, anak buah sering memiliki karakter yang berbeda antara anak buah satu dengan lainnya. Disini seorang pemimpin harus ekstra sabar menghadapi anak buah yang begitu beragam perilakunya itu. Bila tidak maka tujuan kepemimpinan yang ia emban bisa gagal ditengah jalan.
Seorang Bapak pastilah harus bisa menjadi contoh dalam setiap langkahnya. Disini keteladanan merupakan harga mati yang harus menjadi bekal seseorang yang telah dianggap menjadi Bapak tersebut. Tanpa adanya keteladanan, sulit bagi anak buah untuk menaruh hormat apalagi simpati kepada pimpinannya. Sekali seorang memberi contoh buruk kepada anak buah, maka sejak itu hilanglah sikap ke-Bapakan-an dari pimpinan tersebut.

h. Pemimpin Sebagai Servicer

Pemimpin harus mampu menjadi pelayan yang baik terhadap atasan, bawahan, juga terhadap masyarakat. Dengan begitu dia dapat dicintai dan disegani oleh orang di sekelilingnya. Jiwa melayani ini sebaiknya dijalankan dengan tulus dan ikhlas. Artinya jiwa melayani ini tidak ada unsur berharap imbalan dan sejenisnya.
Menjadi pemimpin berjiwa melayani ini memang tidak mudah dalam pelaksanaanya. Sebab, budaya dan perilaku para pejabat atau birokrasi belum semuanya mampu menerapkan sistem pelayanan ini secara baik.  Dalam beberapa instansi bahkan terlihat bahwa pemimpin justru minta dilayani.
Trend pemimpin masa depan adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat. Pemimpin jenis ini adalah pemimpin yang akan populer dan akan sangat disukai oleh masyarakat. Satu-satunya kepentingan dari sang pemimpin jenis ini adalah terpuaskannya harapan masyarakat atas sikap kepemimpinan yang dijalankannya.
Dalam banyak kasus, pemimpin jenis ini akan terpilih dan dipilih kembali oleh masyarakat disaat diadakan Pilkada atau Pemilu misalnya. Jadi, sesungguhnya masyarakat kita itu tidaklah terlalu sulit dan rumit permintaan mereka. Yakni sekedar dilibatkan, dipenuhi hak-hak mereka, dilayani dengan baik, dan diberikan sejumlah hal yang menjadi kebutuhan mereka.
Pemimpin berjiwa melayani, memiliki beberapa syarat yang harus menjadi pegangan. Yakni memberikan yang terbaik dari apapun potensi yang dimiliki oleh sang pemimpin tersebut. Masyarakat tidak pernah meminta lebih dari yang mereka butuhkan. Bahkan sebagian masyarakat berjiwa ”nrimo”, sering melupakan kesalahan yang pernah diperbuat pemimpinnya.
Bila semua pemimpin mampu memiliki jiwa melayani, sesungguhnya masyarakat akan makmur sejahtera. Tidak mudah memang. Namun bukan berarti tidak mungkin.
Menurut Greenleef, sebelum seseorang menjadi pemimpin ia harus terlebih dahulu menjadi pelayan. Seorang pemimpin hebat harus terlebih dahulu melayani orang lain. Kepemimpinan yang benar , muncul  dari mereka yang motivasi utamanya adalah menolong orang lain. Memimpin adalah melayani.
Hal terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin versi Greenleaf, pertama, mendengar dan merenungkan apa yang di dengar merupakan salah satu karakteristik yang sangat vital bagi pemimpin yang melayani. Bukan hanya kemampuan dan komitmen untuk mendengar secara intens apa yang disampaikan dan diinginkan oleh kelompoknya, tetapi juga kemampuan dan komitmen untuk mendengar suara hatinya. Mencoba memahami dirinya sendiri, aspirasi, dan nilai-nilai yang diyakininya.
Ciri kedua, memiliki empati. Empati ini adalah kemampuan untuk bukan hanya memahami dan mengerti apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain, tetapi juga benar-benar ikut merasakan dan mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain.
Ketiga, sadar diri. Yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti kekuatan dan kelemahan dirinya, serta tujuan dan makna hidup yang ingin dicapainya, yaitu untuk melayani.
Keempat, kemampuan untuk  mempengaruhi orang lain secara persuasif. Ia tidak memaksakan kehendak berdasarkan wewenang jabatannya. Ia selalu berusaha meyakinkan bawahannya akan kebenaran atau keyakinan atau keputusan yang harus diambil  bersama. Ia selalu berusaha membangun konsensus dalam kelompok kerjanya.
Kelima, kemampuan untuk keluar dari rutinitas dan melihat hal-hal yang besar. Seorang pemimpin yang melayani adalah juga seorang pemimpin yang visioner. Ia pemimpin yang melakukan tugas secara amanah, memiliki komitmen untuk mengembangkan orang lain. Komitmen untuk membangun komunitas diantara anggota organisasi.

i. Pemimpin Sebagai Designer

Pemimpin sebagai designer merupakan keunggulan utama sebagai manusia dibandingkan mesin atau makhluk-makhluk lainnya, yakni sebgai pencipta dan pelopor yang mampu berfikir kreatif, inovatif, dan visioner serta mampu membuat rancang bangun organisasi yang kokoh, kuat, handal dan unggul.
pemimpin dalam kategori ini, misalnya, Raden Wijaya (Pendiri Majapahit), Raden Sanjaya ( Pendiri Mataram Kuno), Sribaduga Maharaja (Pendiri Pajajaran), Soekarno Hatta (Proklamator Republik Indonesia), Mahatma Gandhi (Proklamator India), Sun Yat Sen (Tokoh Revolusi China), Einstein (Relativitas Fisika), Alfred Nobel (Pencipta Dinamit), Alfa Edison (Penemu Listrik)