Sanghyang
Siksakandang Karesian (SSK)
SSK mengulas dan mengungkap “parigeuing”
yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta
dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam membina serta memimpin bawahannya,
dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta.
Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang mampu menenangkan hati sebagaimana telah
diulas pada bab sebelumnya.
Dasa Prasanta tersebut, apabila
dicermati, kaidahnya berpijak pada kuantitas dan kualitas hubungan
antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses
komunikasinya tetap menggunakan asas silih
asih, silih asah, dan silih asuh.
Karena Dasa Prasanta, kaidahnya
berpijak pada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia (human relationship) namun tidak dalam
kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Berdasarkan SSK
seseorang dapat dikatakan memiliki keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah mumpuni. Dalam arti,
seorang pemimpin harus kharismatik, mempunyai ‘pamor’ dan ‘tuah’ yang
terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam ciri
kepemimpinannnya.
Konsep Dasa Prasanta merupakan
intisari dari ilmu human relation dalam
manajemen, meskipun secara tersirat dikatakan bahwa seseorang baru bisa menjadi
pemimpin apabila dalam pribadinya melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhing twah atau pelengkap untuk
mempunyai tuah/kharisma/pamor.
Dasa Prasanta, bila dianalisis
berdasarkan konsep-konsep kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori
“Kepemimpinan Humanistik” sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake
& Mourton (1964), atau Likert (1967) yang menitikberatkan pada
“pengembangan motivasi” atau juga bisa sejalan dengan teori “Kepemimpinan
Manajerial Strategis” sebagaiman dikemukakan Buckingham & Coffmant (1999),
Drucker (1999), atau Kotter (1998) yang juga menintikberatkan pada penyelarasan
visi, memberikan inspirasi serta memotivasi dan memberikan semangat
pengikutnya.
Dasa Prasanta ini juga sejalan dengan teori “Tranformasi Nilai” sebagaiman
dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns ( 1978) atau De Pree (1995) yang
menitikberatkan pada penyelarasan, penciptaan, dan pemberdayaan sehinga
pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling mengangkat satu sama lain ke
tingkat moralitas dan motivasi yang lebh tinggi.
Ada dua belas unsur pangimbuhing twah
yang harus menjadi penanda karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini
menitikbertakan pada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin
berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan sebagaimana
tertuang dalm SSK (lihat Kepemimpinan Pangimbuhing
Twah pada bahasan sebelumnya).
Konsep, pola, figur, dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah SSK sesui
tugasnya, bahwa seoarang Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif)
harus ngagurat batu ‘berwatak teguh’
serta harus mampu ngretakeun bumi lamba,
dalam arti seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan dan
memberdayakanalam semesta dunia kehidupan. Di dalam dunia kehidupan tersebut
meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan lahir batin.
Dengna demikian, tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan hidup dan
kehidupan yang sejahtera, bermartabat dan penuh dengan rahmat dan ridha
Sang Pencipta, Allah SWT Yang Maha Pengasih serta Penyayang. Itulah yang
dimaksud dengan tujaun akhir berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan
masyakarat yang Tata Tentrem Kertaraharja
membangun kekuatan dalam damai untuk mewujudkna kesejahteraan bangsa.
Pangimbuhing Twah ini sejalan dengan
teori “Kepemimpinan Kharismatik” sebagaimana dikemukan Maxwll (1999), Arthur
(1993), atau Weber yang meneliti sejak tahun 1947 yang menitikberatkan pada
kekuatan pengaruh, tradisi atau kualitas unggul yang dimiliki seseorang.
Sejalan pula dengan teori “Kepemimpinan yang Aspiratif dan Visioner”
sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzez & Posner (1998), Peter Walkman (1990),
atau Richard Enge (1986), yang menitikberatkan pada segi menggerakkan, pimpinan
berperan sebagai kompas, pemandu sehingga orang lain bersedia berjuang untuk
tujuan bersama, kemudian Pangimbuhing
Twah ini pun sejalan dengan teori “Kepemiminan Spritual” model Green Lest
(1996), Spears & Frick (1992), Fairhom (1993) atau Maxwell (1993) yang
mentikberatkan pada besarnya pengaruh diri seorang pimpinan yang punya komitmen
terhadap spiritual, adat, budaya, nilai, dan tradisi
masyarkat/lingkungan/tradisi organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar