Selasa, 10 Desember 2013

KEPEMIMPINAN BERDASARKAN SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN (SSK)



Sanghyang Siksakandang Karesian (SSK)
          SSK mengulas  dan mengungkap “parigeuing” yang meliputi sepuluh pedoman atau tuntutan yang harus dimiliki serta dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam membina serta memimpin bawahannya, dikenal dengan sebutan Dasa Prasanta. Sepuluh pedoman cara kepemimpinan yang mampu menenangkan hati sebagaimana telah diulas pada bab sebelumnya.
          Dasa Prasanta tersebut, apabila dicermati, kaidahnya berpijak pada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia, tetapi tidak dalam kondisi yang kaku dan otoriter. Dalam proses komunikasinya tetap menggunakan asas silih asih, silih asah, dan silih asuh.
          Karena Dasa Prasanta, kaidahnya berpijak pada kuantitas dan kualitas hubungan antarmanusia (human relationship) namun tidak dalam kondisi hubungan majikan-buruh yang kaku dan otoriter. Berdasarkan SSK seseorang dapat dikatakan memiliki  keahlian Dasa Prasanta apabila kualitas dirinya telah mumpuni. Dalam arti, seorang pemimpin harus kharismatik, mempunyai ‘pamor’ dan ‘tuah’ yang terbersit dari kualitas batiniahnya, sehingga akan tampak dalam ciri kepemimpinannnya.
          Konsep Dasa Prasanta merupakan intisari dari ilmu human relation dalam manajemen, meskipun secara tersirat dikatakan bahwa seseorang baru bisa menjadi pemimpin apabila dalam pribadinya melekat karakter kepemimpinan yang disebut pangimbuhing twah atau pelengkap untuk mempunyai tuah/kharisma/pamor.
          Dasa Prasanta, bila dianalisis berdasarkan konsep-konsep kepemimpinan yang ada termasuk dalam kategori teori “Kepemimpinan Humanistik” sebagaimana yang dikemukakan Mc. Gregor (1966), Blake & Mourton (1964), atau Likert (1967) yang menitikberatkan pada “pengembangan motivasi” atau juga bisa sejalan dengan teori “Kepemimpinan Manajerial Strategis” sebagaiman dikemukakan Buckingham & Coffmant (1999), Drucker (1999), atau Kotter (1998) yang juga menintikberatkan pada penyelarasan visi, memberikan inspirasi serta memotivasi dan memberikan semangat pengikutnya.
          Dasa Prasanta ini juga sejalan dengan teori “Tranformasi Nilai” sebagaiman dikemukakan Bass Bennis (1993), Burns ( 1978) atau De Pree (1995) yang menitikberatkan pada penyelarasan, penciptaan, dan pemberdayaan sehinga pemimpin dan para pengikut saling menghargai, saling mengangkat satu sama lain ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebh tinggi.
          Ada dua belas unsur pangimbuhing twah yang harus menjadi penanda karakter seorang pemimpin. Kedua belas pelengkap ini menitikbertakan pada aspek-aspek karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin berupa karakter positif yang harus dipertahankan dan dikembangkan sebagaimana tertuang dalm SSK (lihat Kepemimpinan Pangimbuhing Twah pada bahasan sebelumnya).
          Konsep, pola, figur, dan gaya kepemimpinan berdasarkan naskah SSK sesui tugasnya, bahwa seoarang Prabu sebagai pemimpin roda pemerintahan (eksekutif) harus ngagurat batu ‘berwatak teguh’ serta harus mampu ngretakeun bumi lamba, dalam arti seorang prabu atau pemimpin harus mampu menyejahterakan dan memberdayakanalam semesta dunia kehidupan. Di dalam dunia kehidupan tersebut meliputi semesta alam dan mencakup kesejahteraan lahir batin.
          Dengna demikian, tugas pemimpin adalah mewujudkan lingkungan hidup dan kehidupan yang sejahtera, bermartabat dan penuh dengan  rahmat dan ridha Sang Pencipta, Allah SWT Yang Maha Pengasih serta Penyayang. Itulah yang dimaksud dengan tujaun akhir berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan masyakarat yang Tata Tentrem Kertaraharja membangun kekuatan dalam damai untuk mewujudkna kesejahteraan bangsa.
          Pangimbuhing Twah ini sejalan dengan teori “Kepemimpinan Kharismatik” sebagaimana dikemukan Maxwll (1999), Arthur (1993), atau Weber yang meneliti sejak tahun 1947 yang menitikberatkan pada kekuatan pengaruh, tradisi atau kualitas unggul yang dimiliki seseorang. Sejalan pula dengan teori “Kepemimpinan yang Aspiratif dan Visioner” sebagaimana dikemukakan Burn, Kouzez & Posner (1998), Peter Walkman (1990), atau Richard Enge (1986), yang menitikberatkan pada segi menggerakkan, pimpinan berperan sebagai kompas, pemandu sehingga orang lain bersedia berjuang untuk tujuan bersama, kemudian Pangimbuhing Twah ini pun sejalan dengan teori “Kepemiminan Spritual” model Green Lest (1996), Spears & Frick (1992), Fairhom (1993) atau Maxwell (1993) yang mentikberatkan pada besarnya pengaruh diri seorang pimpinan yang punya komitmen terhadap spiritual, adat, budaya, nilai, dan tradisi masyarkat/lingkungan/tradisi organisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar